Ken Soetanto, Peraih Empat Doktor di Jepang
Raih 31 Paten, Researchnya didanai Rp 144 Miliar Setahun
Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Ken Soetanto. Pria kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun.
Sepintas, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda jika dibandingkan dengan kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi. Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas menunjukkan dia menyukai formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian dia dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat suroboyoan-nya yang khas.
Penemu konsep pendidikan tinggi “Soetanto Effect” di Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia . Soetanto mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu (2005).
Waseda University adalah perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University , Kyoto University , atau Nagoya University . Mahasiswa yang berguru di Waseda University 51.499 orang. Di antara jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar Jepang.
Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia , Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita juga pernah belajar di sini.
President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra berbaik dari Indonesia , para mahasiswa President University berasal dari China dan Vietnam .
Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil dekan Waseda University tersebut hanya “sebentar” memberikan ceramah populernya di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President University . Dia tak sempat berbagi keilmuan dengan sesama akademisi seperti UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan bagi orang dengan kemampuan akademik sekaliber Soetanto.
Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.
Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, Program University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951 tersebut saat ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University .
“Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi,” kata Soetanto di sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University .
Di luar status kehormatan akademik tersebut, dia masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).
Selain itu, dia ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di Japanese Government 21st Century Vision. “Pada jabatan tersebut, saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu. Buah pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Inovasi yang dipatenkan itu mayoritas berlatar bidang keilmuannya, mulai elektronika engineering, teknologi informasi, penemuan pengobatan kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.
Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto sampai USD 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun.
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.
Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya adalah bagaimana karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. “Saya berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain,” katanya mengungkap visi hidupnya.
Soetanto sempat memberikan buah pemikirannya di hadapan ratusan mahasiswa President University . Isi ceramah akademisnya menarik perhatian mahasiswa. Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeberkan pengalamannya bisa 知enaklukkan�dunia perguruan tinggi Jepang kendati hingga sekarang masih berkewarganegaraan Indonesia .
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dirombak lagi agar lulusannya lebih berkualitas. “Sistem pendidikan di sini ( Indonesia ) sudah tertinggal jauh. Bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam ,” jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api.
Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. “Karena faktor tersebut, jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,” pungkas Soetanto.
Kisah sukses Prof Ken Soetanto tak terlepas dari sentimen politik, terutama kebijakan pemerintah Orde Baru yang meminggirkan hak-hak sipil warga keturunan Tionghoa. Tekanan inilah yang memicu dia memilih “lari” ke Jepang.
Pasar Atom Surabaya punya ikatan sejarah yang melekat pada kehidupan Ken Soetanto muda. Sebab, pria kelahiran 1951 itu sejak belia sudah diajari ayahnya berdagang di sana . Sambil menimba ilmu di sekolah menengah di kawasan Baliwerti, Soetanto merasakan betul pahit getirnya mencari uang.
Di pasar yang terkenal dengan produk kain dan garmen itu, Soetanto mengelola toko elektronik bersama sang kakak. Toko sederhana itu menyediakan berbagai perkakas elektronik, mulai radio, tape recorder, hingga televisi. Soetanto juga melayani servis purnajual lengkap dengan onderdilnya.
Berkat ketekunannya, Soetanto menjadi manajer toko sejak 1968 hingga 1974. Pada 1969, SMA Chung-chung di kawasan Baliwerti, Bubutan, ditutup pemerintah seiring kebijakan anti-Tionghoa kala itu. Akibatnya, Soetanto hanya bisa bersekolah hingga kelas 1 SMA. Tetapi, penutupan sekolah itu memberi hikmah tersendiri. Soetanto jadi makin berkonsentrasi mengurusi toko elektronik. Apalagi, Soetanto juga punya hobi mengutak-utik peralatan elektronik.
Suatu hari, keahlian Soetanto di bidang elektronik mencuri perhatian seorang pelanggannya yang kebetulan berkewarganegaraan Jepang. Orang itu kagum melihat cara Soetanto menganalisis sekaligus memperbaiki kerusakan radionya.
“Orang Jepang itu lantas menawari Soetanto belajar elektronik ke Jepang. Orang itu tidak menyediakan dana, tetapi hanya kalau mau belajar ke Jepang, bakal difasilitasi,” kata Longtjing Tandi, kerabat dekat Prof Soetanto, yang kini menetap di kawasan Pinangsia, Jakarta Pusat, kemarin.
Soetanto langsung tertarik. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, termasuk siap berjauhan dengan orang tua di Surabaya . Keinginannya belajar elektronik tersebut diceritakan ke semua orang. Menariknya, hal itu menjadi bahan lelucon di kalangan kerabatnya.
“Waktu itu ada saudara yang bilang, bagaimana kamu mau belajar ke Jepang, wong letak (negara) Jepang saja tidak tahu. Apalagi, kamu (Soetanto) warga keturunan. Piye toh,” kenang Longtjing.
Toh, semua itu tak membuat Soetanto patah arang. Ini dibuktikan dengan langkahnya yang bersemangat mencari tahu bagaimana belajar ke Jepang dari berbagai informasi. Soetanto juga siap memecah celengan untuk ongkos membeli tiket dan biaya hidup beberapa bulan bila sampai di Jepang. Dan, pada 1974, atau saat berusia 23 tahun, Soetanto pun akhirnya jadi juga terbang ke Jepang.
Bersambung......
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan beri komentar Anda mengenai artikel diatas di kolom ini: