SAMSUNG GALAXY TAB 10.1 VS APPLE IPAD 2

Mungkin saya jarang sekali me-review produk elektronik dalam sebuah artikel. Lebih sering menulisnya dalam sebuah catatan pribadi sebagai bahan perbandinagn jika saya hendak membeli sebuah gadget atau produk elektronik lainnya. Barangakali hal ini yang membuat beberapa teman meminta saya untuk me-review kedua tablet PC ini :) Sebelum Anda membaca artikel ini, perlu Anda ketahui saya adalah pengguna Linux. Jadi mohon maaf apabila artikel ini lebih menampilkan sisi kebebasan dari linux :P* Oke, sepertinya single ini adalah sebuah soundtrack Anime, ritme lagunya sangat monoton. Singel ini dijual dalam dua format CD dan DVD. CD sampulnya yang sephia nah kalo yang DVD yang agak berwarna. Sayangnya, single seperti ini biasanya terbatas dan tidak dijual di pasar Indonesia. Jadi tunggu saja Album barunya :)

Turtix Adventure

Game ini agak mirip dengan Mario Bros, hanya saya karakter utamanya seekor kura-kura. Sama seperti pada Mario Bros, kita dituntut untuk mengumpulkan koin (disini bintang) untuk mendapatkan poin.

PLANTS VS ZOMBIE (DOWNLOAD HERE)

Tujuan PvZ cukup sederhana, menggunakan berbagai jenis tanaman untuk menjaga zombie dari mendapatkan ke dalam rumah anda dan makan otak Anda. Anda hanya mengumpulkan jatuh sinar matahari dan sinar matahari yang diciptakan oleh bunga matahari untuk membeli tanaman lainnya dengan mana Anda dapat menyerang gelombang demi gelombang zombie

Prinsip - prinsip Kewirausahaan

Oleh karena itu, jika anda adalah seorang wirausahawan atau punya gagasan untuk berbagi pengalaman, tips, dan informasi lengkap untuk memulai usaha sendiri, ...

TWITTER TOOL UNTUK MENGATUR FOLLOWER

Tiga tahun sudah saya menjadi administrator web dan social media. Pekerjaan tersebut saat ini lebih dikenal sebagai Social Media Manager. Sampai saat ini saya sudah menangani lebih dari 10 akun dan website.

Saturday, January 19, 2008

Fatwa Pacaran: Siapa Yang Salah?

Postingan ini terdiri dari tiga bagian: (1) Pertanyaan Si Santri, (2) Jawaban Sang Ustadz, (3) Tanggapan Saya.

Pertanyaan Si Santri:
Assalaamu‘alaikum wr wb
Langsung saja ustadz.. Ana mau ikut bertanya tentang masalah pacaran yang mungkin sudah basi untuk dibahas namun ana sampai saat ini belum menemukan keterangan yang menentramkan hati ana..
Ana sudah baca fiqh kontemporer karya Syekh Qordhawi juga “fatwa-fatwa kontemporer”nya Pak Quraish Shihab yang menurut Yusuf Qardhawi hal itu hanyalah sesuatu yang tidak disukai [alias makruh] (beliau melarang namun tak berfatwa mengharamkan?)
Sedangkan Pak Quraish malah membolehkan dengan asal dengan definisi yang wajar (def. Kata pacaran sesuai dalam KBBI), hal ini membuat ana bingung.. Begitulah kiranya masalah ini selalu menjadi ganjalan di hati. Oleh karena itu kiranya ustadz berkenan untuk memberi pandangan lagi tentang masalah ini yang sarat dengan dalil2nya yang kuat. Atas perhatiannya Jazakumullah khairon katsiiron–Abdullah Arif
Jawaban Sang Ustadz:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Apa yang diungkapkan oleh Quraisy Syihab itu agak terlalu berani meski beliau mengatakan bolehnya (tidak disukainya) pacaran itu harus dikaitkan dengan pengertian pacaran yang ada di Kamus.
Masalahnya, apakah tiap pasangan muda mudi yang lagi bermesraan itu sempat melihat kamus? Bahwa kalau begini dan begitu sudah termasuk pacaran dan kalau begini dan begitu belum? Lalu mengapa harus kamus yang dijadikan rujukan sementar tukang becak di pinggiran jalan pun tahu apa itu pacaran dan apa saja agenda acaranya.
Sementara istilah pacaran itu sendiri sudah merupakan kelaziman di tengah masyarakat dimana pasangan tidak sah melakukan serangkaian aktifitas bersama. Dan realitas di tengah masyarakat sudah mengenal persis aktifitas pacaran itu yang identik dengan apel malam minggu (namanya apel sudah pasti berduaan, karena kalau rame-rame namanya rombongan), juga nonton ke bioskop berdua, berboncengan sepeda motor, jalan-jalan berduaan, makan di restoran berduaan, tukar menukar SMS, saling bertelepon siang dan malam dan semua aktifitas lain yang mengasyikkan. Intinya adalah kebersamaan dan berduaan. Hampir sulit dikatakan pacaran bila semua itu dilakukan bersama-sama dalam kelompok besar.
Bahkan hakikat pacaran adalah pada keberduaannya itu. Inilah pacaran yang dikenal masyarakat dan bukan yang tertulis dalam kamus.
Ketika seorang memberi fatwa, apakah dia harus bersembunyi di balik istilah baku yang hanya ada di kamus atau dia menjelaskan dengan bahasa yang dikenal masyarakatnya? Ingatlah bahwa seorang nabi tidak diutus dengan bahasa alien tapi dengan bahasa umatnya agar jelas dan nyambung, tidak bolot. Orang ngomong kemana dia menjawab yang lain.
………………………..
Sebaiknya ketika mengeluarkan fatwa gunakan bahasa yang jelas dan tidak miring-miring yang hanya akan menjadi salah tafsir para pendengarnya.
Wallahu a‘lam bishshowab.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb
Tanggapan Saya:
Jadi, fatwa mengenai pacaran itu berdasar definisinya yang baku (dalam kamus) ataukah menurut pengertian sebagian besar orang? Menurut sang ustadz, fatwa tentang pacaran itu harus menurut pengertian sebagian besar orang. Kalau menurut mereka pacaran itu identik dengan aktivitas yang mendekati zina, maka menurut sang ustadz, pacaran itu terlarang. (Sebaliknya, seandainya pacaran itu tidak identik dengan begituan, maka pacaran itu tidak terlarang.)
Masya’Allaaah. Di manakah sang ustadz mempelajari metode ijtihad? Argumentasinya itu jelas-jelas menyesatkan. Bayangkan, penetapan hukum kok berdasar makna di benak kebanyakan orang. Seandainya prinsip ini diberlakukan, akibatnya sangat berbahaya.
Mari kita ambil contoh yang lebih jelas, yaitu istilah zina. Menurut kebanyakan orang awam, terutama yang telah terpengaruh budaya ‘modern’, zina itu adalah hubungan seksual seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan suaminya/istrinya. Bila lajang ngeseks dengan sesama lajang, suka sama suka, mereka menganggap itu bukan zina. Kalau begitu, apakah ngeseks dengan sesama lajang itu tidak haram hukumnya karena kebanyakan orang awam menganggap perbuatan tersebut bukan tergolong zina?
Nah, jelaslah kekeliruan sang ustadz. Benarlah Dr. M. Quraish Shihab (dan Dr. Yusuf Qardhawi) yang menetapkan hukum berdasar definisi baku.
Adapun untuk mengatasi kesalahpahaman masyarakat mengenai penetapan hukum-hukum itu, karena mereka kurang mengerti makna istilah-istilah, maka tugas kitalah untuk mengoreksi mereka. Karena itu, marilah kita sebarluaskan pemahaman yang benar bahwa makna zina itu tidak terbatas pada yang menikah saja, bahwa makna pacaran itu tidak terbatas pada berduaan saja, dst.
Wallaahu a’lam. Dan Allah lebih tahu.

Friday, January 18, 2008

Tanda-Tanda Salah Pilih Pacar


Tanda-Tanda Salah Pilih Pacar


Selamat! Anda telah punya kekasih baru. Mmmm, tapi... Yakin nih dia orangnya? Bener tak salah pilih? Aha... Kok Anda terlihat ragu? Jangan-jangan Anda salah pilih pacar. Cek deh apakah ada tanda-tanda di bawah ini yang berlaku untuknya.
1. Lebih banyak berkorban
Cinta memang butuh pengorbanan. Korban waktu, pulsa, materi dan juga perasaan. Persoalannya, setelah dihitung-hitung, kok pengorbanannya lebih banyak Anda daripada dia ya?
Memang, dalam suatu hubungan tidak boleh menghitung untung rugi, tapi kalau Anda yang lebih banyak berkorban sedangkan dia terima jadi, enggak fair juga. Anda mau mengorbankan waktu bersama Anda dengan teman dan keluarga demi dia, sayangnya dia tidak pernah melakukannya untuk Anda.
2. Teman mulai menjauh
Sebelum ia menjadi kekasih, teman-teman mengelilingi Anda. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat ketika Anda menjalin cinta dengan si dia. Satu persatu sahabat Anda menghilang, menjauhi Anda. Jangan buru-buru menyalahkan teman-teman Anda. Mungkin sikap mereka dilatar belakangi oleh sikap yang sejak memiliki kekasih dia, Anda bukan teman yang asyik lagi.
3. Sahabat enggan membicarakannya
Ketika Anda membicarakan tentang dia, ekspresi wajah dan body language sahabat Ansda terlihat resah. Mulai rajin melihat jam tangan seolah dia tidak betah mengobrol berlama-lama dengan Anda, Atau setiap kali Anda menyebut nama si dia dan bersemangat menceritakan betapa hebatnya si dia, sahabat Anda mengalihkan pembicaraan atau hanya menanggapi seadanya, "Oh...Ehmmm, oh gitu..".
4. Hubungan panas dingin
Di awal-awal hubungan, Anda dan pasangan seru dan hangat, tapi makin ke sini dia berubah cuek dan dingin.
Anda pasti bertanya-tanya "Apa ada yang salah dengan saya?" Mengapa dia mulai berubah? Itu pertanda yang jelas bahwa dia belum mau berhubungan serius dengan Anda.
Ketika ia melihat Anda begitu serius menjalani hubungan, dia merasa tidak enak hati. Tak heran sikapnya jadi berubah seperti itu. Kalau Anda ingin hubungan yang mantap dengannya, maaf saja, Anda telah salah pilih orang.
5. Terlalu banyak usaha
Anda sering kali terlalu usaha untuk sekedar bertemu dia. Anda selalu menemukan cara untuk bisa main ke kantor dan tempat tinggalnya, entah itu sengaja makan di resto dekat kantornya, atau tiba-tiba datang ke kantornya untuk memberi sesuatu. Bahkan, Anda rela-rela saja bersusah payah mengatur perjalanan untuk bertemu dengannya di tempat dinas di luar kota. Padahal, kalau mau jujur ia tidak menanggapi dengan antusias semua usaha Anda itu.
6. Hidup Anda terkekang
Anda yang super aktif, independen, penuh semangat, tiba-tiba berubah menjadi orang yang tergantung dan tunduk kepadanya, Anda tidak lagi ke tempat yang diinginkan sesuka hati, atau beraktifitas sesuai minat tanpa seizin dia. Kalaupun boleh, kerap disertai sederet persyaratan, salah satunya Anda harus pergi bersama dia.
Tak hanya itu, pergaulan Anda juga mendapat pengawasan ketat darinya. Koleksi teman Anda diseleksi, ia tak segan-segan menginterogasi Anda layaknya polisi kalau Anda tertangkap basah sedang makan siang bersama rekan sekantor pria. Masak sih Anda mau buang-buang waktu dengan pria pengekang seperti itu?

7. Berat tubuh susut
Berat badan Anda sebelum dan sesudah jadian dengannya susut 3-4 kg. Ada dua kemungkinan terjadinya penyusutan ini, Anda mati-matian diet demi memenuhi standar tubuh ideal di matanya-maklum dia sering mengkritisi bobot anda yang menurut dia overload- atau penyebabnya Anda sering makan hati lantaran memikirkan sikap dan perilakunya terhadap Anda yang sering kali nyelekit.
8. Tidak pede
Anda selalu merasa menyesal telah salah pilih gaun, aksesori, bahkan kata-kata, setiap habis bertemu dengannya. "Kok tadi dia diam saja ya? Jangan-jangan aku menyinggung perasaannya? Atau aku salah kostum nih?" Stop mencari-cari kesalahan sendiri! Kehadiran seseorang pasangan semestinya dapat mendongkrak rasa percaya diri dan menenangkan Anda, bukan sebaliknya, membuat Anda merasa serba salah dan takut.
9. Suami orang
Wah, kalau kekasih Anda adalah suami orang, itu tanda yang jelas Anda telah salah pilih orang, sudah tau punya istri, Anda masih mau jadi pacarnya. Lelaki tak bebas alias berstatus suami orang memang sangat menarik hati. Tapi awas, mereka ini suka mengobral janji, egois tanpa memikirkan perasaan Anda. Jadi percuma saja Anda menunggu dia untuk menceraikan istrinya, karena itu jarang sekali terjadi.
Gimana kalau tanda-tandanya berupa gejala alam, seperti dia datang, binatang peliharaan mendadak terlihat resah dan udara tiba-tiba terasa pengap? Aduh, pacar Anda itu manusia atau bukan? Kebanyakan nonton film horor ya Jeng? ;-)


Sumber: Chic


Saturday, January 12, 2008

YANG LUCU DAN YANG ANEH: SRIMULAT, SEBUAH SEJARAH

What a sad business being funny.
(Charlie Chaplin)
Cerita lucu bisa jadi merupakan kisah kesedihan yang dipupur oleh banyak kepura-puraan. Di televisi Indonesia sekarang, kita bisa melihat banyak tokoh-tokoh yang dulu dikenal sebagai ‘tukang hibur orang’ meringkuk di penjara karena kasus obat-obatan terlarang, narkotika, dan persoalan-persoalan lainnya. Kadang, ‘para penghibur’ ini mengalami hidup yang tragis karena kesepian, ditinggalkan penggemar, atau terkait persoalan poligami dan semacam itu. Di antara ‘para penghibur’ itu mungkin kita telah begitu hafal wajah-wajahnya karena mereka dulu sering muncul di televisi, tergabung dalam sebuah grup lawak legendaris bernama Srimulat.
Berbicara tentang Srimulat berarti berbicara tentang sebuah perjalanan panjang yang tak selalu lucu dan manis. Justru kadang, perjalanan itu berisi tragedi-tragedi dan hal-hal yang menjengkelkan. Sebagai sebuah kelompok hiburan, Srimulat didirikan oleh RA Srimulat dan Teguh Slamet Rahardjo pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Kelompok lawak ini mengakhiri masa ‘tugas’-nya sebagai kelompok penghibur pada tahun 1989. Meski demikian, Srimulat tetap bertahan sebagai legenda. Meski banyak konsep komedi dan lawakan ditampilkan, meski generasi baru pelawak datang dan pergi memenuhi wacana kesenian Indonesia, Srimulat tetap bertahan sebagai sebuah kelompok kesenian rakyat. Srimulat tetap memiliki masyarakat pendukung (konstituen) yang cukup kuat dan mampu beradaptasi dalam segala perubahan.
Tora Sudiro, aktor komedi kontemporer, misalnya, tetap mengidolakan Gepeng (salah satu aktor Srimulat) sebagai aktor favoritnya. Secara spesifik, sebagai kesenian tradisional, Srimulat mengakar di masyarakat kelas bawah, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Tidak seperti kesenian tradisional lain, Srimulat bahkan bisa diterima oleh kalangan atas masyarakat perkotaan Indonesia.
Padahal kalau diteliti lebih jauh, pola kesenian tradisional Srimulat terkesan sangat sulit beradaptasi dengan ‘kebudayaan modern’ yang menjadi kiblat perkembangan budaya urban di Indonesia. Srimulat selalu menggunakan pola-pola lama yang terus dipertahankannya. Misalnya, penonjolan peran pembantu (batur) yang tak pernah berubah, dan personelnya memiliki karakter dan mimik wajah yang khas –untuk tidak berkata bahwa wajah-wajah orang Srimulat relatif konyol dan ‘tidak tampan’. Pola-pola yang didasarkan pada semboyan, “lucu adalah aneh, dan aneh adalah lucu” ini anehnya tidak membuat masyarakat bosan.
Sebenarnya mengapa Srimulat bisa menjadi seperti sekarang? Faktor-faktor apa yang membuat Srimulat kini tidak lagi sekadar sebuah grup lawak tapi juga sebuah genre lawakan? Bagaimana sejarahnya? Siapa saja yang berperan di sana? Tulisan ini hendak membahas sejarah dan peranan Srimulat dalam wacana kesenian di Indonesia. Diawali dengan pembahasan sejarah, tulisan ini hendak mengaitkan Srimulat dengan konteks kesenian Indonesia pada umumnya. Tulisan ini juga hendak sedikit mengetengahkan persoalan-persoalan yang dihadapi grup tradisional ini berhadapan dengan perkembangan sosial politik yang bersifat modern. Di akhir pembahasan, tulisan ini hendak sedikit membahas hubungan Srimulat dengan politik Indonesia.
Lawak: Yang Lama dan Yang Baru.
Srimulat berakar dari tradisi kesenian rakyat, seperti ludruk, lenong, atau pun ketoprak. Tetapi dalam perkembangannya, Srimulat banyak ‘meninggalkan’ tradisi kesenian rakyat.
Dalam Religion of Java, Clifford Geertz membedakan kesenian Jawa menjadi 2 jenis, yakni kesenian klasik dan kesenian rakyat. Kesenian klasik terdiri dari wayang, gamelan, tembang, joged, tembang, serat batik. Kesenian rakyat terdiri dari sandiwara rakyat (wayang orang, ketoprak, ludruk), tayuban, dan penari jalanan (ledek, jaranan, dan janggrung).
Kesenian rakyat memiliki beberapa ciri, antara lain:
  1. penyebarannya melalui media lisan
  2. bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
  3. lakon teater rakyat ada dalam versi dan varian yang berbeda-beda. Lakon dapat mudah mengalami perubahan. Tapi bentuk dasarnya tetap.
  4. bersifat anonim, tidak diketahui siapa penciptanya.
  5. mempunyai bentuk berpola. Ia selalu memakai struktur lakon yang sama dan mempergunakan bahasa rakyat pendukungnya.
  6. mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan kolektif.
  7. bersifat pralogis, memiliki logika sendiri, tidak sesuai dengan logika umum.
  8. menjadi milik kolektif masyarakat tertentu.
  9. bersifat polos, gamblang, spontan.
Sementara kesenian beruap teater pop memiliki cirri:
1. masa tayang/pentasnya lebih singkat.
2. sudah disutradarai daengan lebih ketat, bukan bersifat improvisasi lagi.
3. tema-temanya tidak lagi mengenai masyarakat desa atau kampong/agraris.
4. berfungsi politik, untuk menyindir, bahkan menghujat.
5. tujuannya komersial. Semangat kreatif adalah semangat mencari untung yang sebesar-besarnya. Di sini, strategi marketing/pemasarandipertimbangkan.
Melihat dari pembagian ini, Srimulat bisa dikatakan sebagai kesenian/teater pop yang masih kental sifat-sifat teater rakyatnya. Srimulat sebagai teater pop menyajikan humor/lawakan yang dipentaskan. Dalam hal ini, Srimulat bersifat humoris, karena menertawakan dirinya-sendiri, bukan lelucon yang menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan. Dasar teater Srimulat adalah tradisi dagelan Mataram, dengan tokoh-tokoh terpenting adalah kaum kalangan bawah (batur) dan wandu (waria). Srimulat mengangkat persoalan rakyat kecil dan mementaskannya secara kocak. Tokoh batur sering menjadi tokoh sentral dalam pertunjukan. Pementasan berisi kata-kata plesetan, berlogika salah, dan kebiasaan buruk majikan. Lakon Srimulat sendiri bersifat slapstick (lawakan yang disertai dengan gerak isyarat dan bahasa tubuh kocak dan cenderung kasar).
Humor Srimulat ini memiliki berbagai sifat, antara lain:
1. sifat kejutan. Humor selalu mengungkapkan sesuatu yang tak terduga.
2. sifat dapat mengecoh orang
3. sifat melanggar tabu. Humor biasanya mengungkapkan kata-kata yang dianggap tidak senonoh dan ‘terlarang’ oleh norma yang berlaku umum.
4. sifat yang aneh karena tidak biasa
5. sifat tidak masuk akal dan tidak logis menurut pemikiran modern
6. sifat kontradiktif dengan kenyataan
7. sifat kenakalan untuk mengganggu orang lain
8. sifat mempunyai arti ganda untuk satu kata yang sama. (teka-teki).
Humor sendiri berciri-ciri sebagai berikut.
1. berbentuk lisan (atau lisan yang sudah ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan)
2. milik kolektif
3. bersifat anonim
4. bersifat aktual dengan kejadian di dalam masyarakat
5. bersifat spontan dan polos
6. mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Menilik dari ciri-ciri di atas, humor memang memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi masyarakat. Pertama, humor bisa jadi merupakan sistem proyeksi, alat pencermin angan-angan suatu kolektif. Kedua, humor juga berfungsi sebagai sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, humor bisa menjadi alat pendidikan (pedagogi). Keempat, humor bisa menjadi alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh kolektifnya. Terakhir, humor bisa menjadi alat protes sosial.
Pada saat awal kelahiran Srimulat, pementasan humor popular tidaklah seramai sekarang sehingga kehadiran Srimulat sesungguhnya memang sangat fenomenal. Meskipun demikian, seniman lawak umumnya lahir secara spontan, tumbuh dan besar di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka tidak mendapatkan pendidikan formal melawak.
Srimulat sebagai sebuah grup kesenian mulai tampil permanen di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Cikal bakal tipe lawakan Srimulat adalah suplemen dagelan di seni tradisional ludruk dan kethoprak yang saat itu masih bersifat keliling.
Dengan menjadi populer, seni lawak Srimulat bisa dinikmati tanpa memperlukan prasyarat interpretasi, intelektualitas dan hermeneutika. Pertumbuhan seni lawak di Indonesia berasal dari kesenian rakyat tradisional yang memang tidak pernah hadir secara total sebagai prokreasi dari high culture (seni tinggi atau seni klasik dalam istilah Geertz) dan bukan pula sintesis yang menghasilkan seni adiluhung dari pertarungan antara high dan popular culture. Kesenian tradisional memang mulanya berasal dari dalam keraton, istana raja dan bangsawan tapi kemudian ia merembes keluar untuk menyentuh kehidupan massa. Maka, seni tradisi di Indonesia dikonsumsi massa tanpa mengacu pada batas-batas stratifikasi sosial.
Pada dekade 1980-an, tampil grup lawak Warkop DKI (mulanya Warkop Prambors), beranggotakan Kasino Hadibowo, Wahjoe Sardhono dan Indrodjojo Kusumonegoro, yang berangkat dari kampus/kelas menengah. Setelah beralih ke dunia film, Warkop menyajikan tontonan massa untuk seluruh lapisan masyarakat. Ia hanya menjadi pembawa semangat high culture, bukan pencipta semangat high culture.
Hal ini terjadi karena di Indonesia, elite kebudayaan tidak selalu identik dengan elit sosial. Di sinilah lawak terkondisikan sebagai kanal pelepasan ketegangan dan ketidakpastian.
Srimulat dan Sejarah
Srimulat merupakan kelompok sandiwara tradisional asal Solo yang berkembang di Surabaya serta malang-melintang di dunia panggung seni rakyat sejak tahun 1950. Anggotanya antara lain Asmuni, Tarzan, Basuki, Timbul, Paimo, Beni Bandempo, BAmbang Gentolet, Edi Geyol, Gepeng, dll.
Nama Srimulat berasal dari nama Raden Ayu Srimulat. Tokoh ini hidup antara tahun 1905-1968 sebagai pemain sandiwara panggung dan penyanyi. RA Srimulat adalah anak Raden Mas Adipati Aryo Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana di Bekonang, Solo, Jawa Tengah. RA Srimulat ‘meninggalkan’ keluarganya yang melarangnya terjun dalam dunia kesenian.
RA Srimulat mengawali kiprahnya sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang dan Rido Carito. Di pentas wayang orang, ia tampil di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954), dan Radja Karet dari Singapura (1956).
Pada tanggal 8 Agustus 1950, RA Srimulat telah berusia 42 tahun dan menikah dengan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang berusia 24 tahun. Pada saat yang sama, dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi, terutama lagu-lagu berlanggam Jawa dan keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut Rawit, Maleha, Rumiyati, dan Srimulat sendiri. Teguh menjadi pemain gitar dan biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957, namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria Srimulat.
Pada waktu itu, panggung pementasan yang digunakan adalah panggung yang bersifat permanent di Taman Sriwedari, Solo. Selain itu, Aneka Ria Srimulat juga mengadakan pentas keliling kota dengan mengunjungi pasar malam dan pusat keramaian. Srimulat melaksanakan dua pola ini selama 10 tahun. Tetapi praktis, Srimulat lebih banyak melakukan pementasan keliling ke Jember, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kudus, Pekalongan dan beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan. Ketika masih nomaden, anggota Srimulat mencapai sekira 28 orang.
Para pentolan dagelan Mataram seperti Bandempo, Ranudikromo, Sarpin dan Suparni merupakan generasi pertama yang mengawali masuknya lawak dalam Gema Malam Srimulat. Masuknya generasi kedua pelawak dagelan Mataram terjadi pada tahun 1953 ketika Hardjo Gepeng, Djojo Panggung, Karno Willem dan Djiu ikut bergabung. Generasi ketiga datang pada tahun 1956 yang meliputi Johny Gudel, Rusgeger dan Brontoyudo.
Dagelan Mataram mengubah format dan cetak biru lawakan Srimulat[1]. Dagelan Mataram diperkirakan berasal pada paruh pertama abad 20, yakni sekitar tahun 1925 di Yogyakarta dengan pencetusnya bernama Ki Jayeng Kedung alias Ki Gunopradonggo. Kesenian ini muncul tak lama setelah kethoprak. Dagelan malah disebut sebagai anak kandung kethoprak.
Bentuk dan cirinya sederhana. Lakon yang dipentaskan pun tentang kehidupan rakyat desa, dengan pakaian, tata rias, tata pentas, bahasa, tembang maupun gamelan yang terhitung sederhana. Awal munculnya lawak dalam masyarakat Jawa terjadi pada pementasan Ketoprak Langen Madyo di Kertanaden, Yogyakarta, dengan judul Menak Abdul Semarasupi. Di pementasan ketoprak ini, muncul acara selingan berupa lelucon untuk menutup blocking tempat/alat. Dagelan ini meluas menjadi lawak yang mencakup bukan hanya ketoprak tapi juga ludruk, dll.
Karena pengaruh dagelan Mataram ini, porsi lawakan di Aneka Ria Srimulat lebih dominan daripada nyanyi. Dagelan Mataram memiliki keunikan dalam cara penyampaian, yakni berbentuk monolog dan dialog. Dalam monolog (ngudaroso), seorang pelawak secara lisan menyampaikan isi perasan, pemikiran maupun cerita tertentu kepada penonton. Ia bisa berkisah, berpidato atau berdeklamasi.
Selain itu, Srimulat juga mendapat pengaruh ludruk dan ketoprak. Bekas pemain ludruk yang bergabung dengan Srimulat antara lain Kadir Mubarak dan Nurbuat. Sementara yang dari ketoprak adalah Bendot dan Timbul Suradi. Jadi sangat terlihat hubungan yang benar-benar organik antara Srimulat sebagai grup lawak nasional dengan kesenian tradisional Jawa. Bahkan boleh dibilang, lawak Srimulat merupakan puncak dari dagelan atau lawakan yang ada dalam kesenian tradisional Jawa.
Semakin lama, Aneka Ria Srimulat semakin tumbuh besar. Teguh yang mengambil alih kepemimpinan Aneka Ria Srimulat sejak tahun 1957 semakin merasakan kompleksitas dalam manajemen yang berpindah-pindah tempat. Pada tahun 1961, Aneka Ria Srimulat akhirnya menetap di Surabaya dengan menjadi pengisi tetap Taman Hiburan Rakyat. Sejak itu, para personel Aneka Ria Srimulat hijrah dari Solo ke Surabaya. Dengan kepindahan ke Surabaya, Aneka Ria Srimulat menambah kru, antara lain Budi SR sebagai desainer panggung, A. Rafiq sebagai penyanyi dangdut, Paimo sebagai pemain piano, Udin Zach sebagai peniup klarinet, Gatot Sanyoto sebagai pemain perkusi dan bongo, dan Maryono sebagai pemusik tiup.
Pada tahun 1968 Teguh mulai melakukan perombakan format pagelaran. Aneka Ria Srimulat mulai mengutamakan tampilnya sandiwara dengan banyolan spontan sebagai sajian utama. Srimulat lalu benar-benar berubah menjadi grup komedi. Dengan perubahan ini, Srimulat membutuhkan dramaturgi lawakan karena dagelanlah yang menjadi roh yang menghidupi seluruh jalinan cerita. Ini merupakan penemuan yang sangat penting dan mendasar. Tadinya lawak hanya jadi selingan (baik di ludruk, ketoprak, bahkan wayang, dan Srimulat sebelum 1968), sekarang ia menjadi satu-satunya tumpuan. Fenomena ini merupakan kali pertama di Indonesia sebuah drama yang diselingi nyanyi dan seluruh alur ceritanya dilawakkan atau dilucukan di atas pentas.
Sejak September 1972, Srimulat tampil rutin 4 bulan sekali di TIM, Jakarta dengan sambutan luar biasa.Srimulat yanga berasal dari Jawa mulai berekspansi ke level nasional. Hal-hal yang mendorong ekspansi Srimulat ini terdiri dari 2 faktor, yakni:
  1. faktor eksternal, yakni adanya kesempatan bagi Srimulat untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya dalam seni lawak Indonesia.
  2. keinginan Teguh sebagai pemimpin Srimulat untuk memupuk kemampuan dan memperluas pengaruh Srimulat di Indonesia.
Ekspansi ini menyisakan sebuah persoalan yang harus diselesaikan Srimulat, yakni persoalan bahasa. Selama ini, Srimulat yang berakar dari kebudayaan Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai alat ekspresi keseniannya. Setelah pentas di Jakarta, mereka harus menggunakan sosio-linguistik nasional, yaitu bahasa Indonesia. Di tingkat ini, Srimulat akhirnya menyesuaikan diri dengan perubahan itu dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa di atas pentas. Meski demikian, logika berpikir dan logika berbahasa mereka tetap menggunakan logika bahasa Jawa. Bahkan kemedokan bahasa Jawa digunakan sebagai bahan lawakan. Di Srimulat, bahasa Jawa tetap difungsikan sebagai sarana komunikasi, ekspresi dan aktualisasi diri di antara orang-orang Srimulat.
Pada tahun 1975, Johny Gudel dan beberapa anggota Srimulat (Kardjo AC/DC, Suroto, Subur, Rujilah, Rus Pentil, Sumiati) memisahkan diri dari Srimulat untuk mendirikan grup lawak sendiri. Jumlah total kru yang keluar 43 orang. Ini merupakan gelombang persoalan pertama yang melanda Srimulat. Pada tahun 1976 orang-orang dari grup sandiwara Lokaria bergabung dengan Srimulat. Tahun 1977 Srimulat mengalami zaman keemasannya. Selain mempertahankan yang di Jakarta dan di Surabaya, Teguh mendirikan Aneka Ria Srimulat di Solo untuk Taman Hiburan Bale Kambang. Mulai Oktober 1981, Srimulat tampil secara permanen di Taman Ria Remaja Senayan.
Pada tahun 1982, Srimulat mengalami transformasi yang cukup berpengaruh untuk karir mereka selanjutnya. TVRI Stasiun Pusat Jakarta mulai menampilkan Srimulat sekali dalam sebulan selama 55 menit. Sejak itu, Srimulat mengalami masa kejayaan selama 5 tahun. Setelah menguasai televise (TVRI masih satu-satunya televisi yang boleh mengudara), Srimulat kemudian juga ikut terlibat dalam beberapa produksi film layar lebar.
Pada ulang tahun keempat siaran mereka di TVRI, pada 10 Oktober 1985, jumlah personel Srimulat sudah mencapai 77 orang. Ditambah kru mereka yang di Solo dan Surabaya, jumlah anggota Srimulat mencapai 300 orang. Sebuah jumlah yang mengagumkan. Tahun-tahun itu, Srimulat juga mulai menetapkan Jakarta sebagai pusat kegiata. Hal itu sesuai dengan kondisi ekonomi politik Indonesia yang mulai menjadikan Jakarta sebagai sentral pembangunan.
Pada bulan Agustus 1986, pelawak-pelawak top Srimulat, seperti Gepeng, Basuki, Timbul, Tarzan, Kadir, Nurbuat, dan Rohana menyatakan keluar dari Srimulat. Ini merupakan gelombang kedua eksodus orang-orang Srimulat. Srimulat didera oleh berbagai komplikasi masalah disimak dari wataknya sebagai kesenian tradisional. Ia berbenturan dengan masalah manajemen dan kepemimpinan, dan keluar-masuknya pemain-pemain handal.
Pada tahun 1988 Srimulat terancam tergusur dari Taman Ria Senayan karena sepi penonton. Srimulat cabang Semarang juga menutup diri pada 6 November 1988. Pementasan di Taman Ria Senayan bubar pada tanggal 1 Mei 1989 dengan menunggak hutang 22 juta rupiah dan menyisakan 40 personel (18 pelawak, 8 musisi, 7 penyanyi, 4 penata dekor, 2 penata cahaya dan suara, 1 orang pengurus pakaian) dalam keadaan menganggur. Srimulat praktis tamat pada tahun 1989 ini.
Setelah Srimulat bubar, muncullah grup-grup lawak yang berasal dari orang-orang Srimulat. Basuki, Timbul dan Kadir membentuk Batik Group yang berpentas di TVRI. Kampret dan teman-teman membentuk grup Sanjaya. Sumati dkk. membentuk grup Palapa. Mamiek Prakoso membentuk Sumirat, sementara Nurbuat kembali eksis dengan grup Anoraga. Di Pasar Seni Jaya Ancol, muncul Aneka Ria Asmuni (Asmuni, Triman, dan Paul Polii). Di Semarang, Bambang Panuroto mendirikan Atlas. Meski bermacam-macam, grup-grup ini tetap berciri dan menggunakan pola lawakan Srimulat dalam pentas-pentasnya.
Pada tanggal 24 Oktober 1992, Srimulat tampaknya kembali menggeliat. Tessy (Kabul Basuki), Tarzan, Marwoto (dagelan Mataram), Didik Nini Thowok bersama Tarida Gloria dan Kiki Fatmala muncul di layar RCTI dan SCTV menggantikan posisi Lenong Rumpi. Mereka menampilkan lawakan-lawakan yang sangat kental unsur Srimulat-nya, antara lain lawakan berjudul Sadis tapi MesraKontes Ratu Sejagad, Kau yang Kusuka dan Gosip.
Kebangkitan sebagian anggota Srimulat ini disusul pada tahun 1995, yang melibatkan hampir semua anggota lamanya. Jujuk Juariah, istri kedua Teguh dan primadona Srimulat, menghubungi Kadir Mubarak untuk mengumpulkan awak Srimulat agar tampil ke panggung bersama. Kadir merupakan salah satu alumni Srimulat yang relatif sukses, terutama di layar lebar. Berdasarkan kesepakatan dua orang itu, pada tanggal 27-28 Januari 1995 Srimulat menggelar pentas lawak dan kembali muncul di Taman Ria Remaja Senayan dengan bintang tamu Lydia Kandou, Evie Tamala, Doyok dan Eko Ndaru Jumadi. Dari Srimulat, muncul Jujuk, Tarzan, Asmuni, Basuki, Timbul, Bambang Gentolet, Nurbuat, Triman, Paul, Rohana, Rina, Sumiati, Niniek Chandra, Ani Asmara, Mamiek Prakoso, Kadir, Polo, Bendot, dll. Malam pertama mereka menampilkan judul Kadir-Doyok di Sarang Drakula, pada malam kedua pementasan bertajuk Love is Blind.
Pementasan itu merupakan reuni besar-besaran setelah Srimulat bubar 6 tahun yang lalu. Meski demikian, Srimulat hanyalah sebuah ‘ajang reuni kebablasan’ yang begitu cair. Ia tidak lagi menjadi payung bagi sebuah grup lawak.
Pada tanggal 4-10 September 1995, Srimulat sekali lagi merasa perlu menyelenggarakan reuni. Sejak November 1995, Indosiar mulai menayangkan lawakan Srimulat dalam siarannya. Sejak saat itu, Srimulat berpentas secara permanen di Indosiar, setiap Kamis malam, pukul 21.30 sampai 22.30 dengan tajuk Aneka Ria Srimulat. Hingga penghujung 1999, Srimulat tampil rutin di Indosiar dengan rating 9 dan spot iklan mencapai 36.
Momen ini sangat penting bagi ‘Srimulat’ yang sudah bubar. Mereka bertahan karena pasar (industrientertainment). Pasca-bubarnya Srimulat, televisi menjadi factor yang sangat determinan dalam mengumpulkan anggota Srimulat yang tercerai-berai. Di sini, capital/modal bisa memainkan peran yang sangat penting bagi keberlangsungan sebuah kesenian.
Tahun 1996 masih tetap diwarnai adanya reuni yang kebablasan dari anggota Srimulat. Setelah di Jakarta, pentas reuni diselenggarakan di Solo pada tanggal 8-10 Januari dan di Semarang pada 13-15 Januari 1996. Melalui televisi, kebangkitan Srimulat Reuni semakin terlihat. Pada tahun 1998, Basuki merancang ketoprak humor “Ketoprak Jampi Stress” seperti Timbul yang membuat Ketoprak Humor di RCTI. Ketoprak Jampi Stress menampilkan orang-orang Srimulat ditambah Mandra dan Marwoto, yang tampil rutin setiap Selasa malam di Indosiar sejak 1999.
Srimulat dalam Konteks Genre Hiburan.
Menurut Anwari, penulis buku Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur (1999), di Indonesia ada 3 genre lawakan, yakni:
  1. Genre lawakan kritis
Cikal bakal dan pertumbuhan genre ini berasal dari stasiun radio swasta, yakni radio Prambors dan Suara Kejayaan (SK) di Jakarta. Pelawaknya antara lain Warkop, Bagito, Patrio, Ulfa, Empat Sekawan, dll. Radio SK menjadi radio humor sejak pertengahan 1980-an. SK didirikan pada tahun 1967 sebagai radio amatir yang bernama Radio Kemenangan. Tahun 1971, SK menjadi radio swasta niaga. Tahun 1984, grup Bagito (Miing/Tubagus Dedi Suwandi Gumelar, Didin/Tubagus Didin Zaenal Abidin, dan Unang/Hadi Prabowo Suwardi) mulai memasukkan unsur-unsur humor dalam siarannya. Tahun 1986 radio SK menjadikan dirinya radio humor.
Kemunculan genre ini menghadirkan dua fenomena penting. Fenomena pertama, ada sebuah institusi yang bertugas menggodok konsep dan bahan lawakan. Kedua, kehadiran para pelawak dan grup lawak dalam medium radio. Dalam genre lawakan kritis, naskah lawakan bersifat literer. Pelawak biasanya berasal dari kelas menengah/intelektual dan cenderung kritis terhadap hal-hal actual. Lawakan mereka harus relevan dengan masalah sosial dan politik. Fenomena ini didorong oleh kondisi Indonesia saat itu yang sedang menghadapi dunia yang sedang berubah (proses modernisasi dan pembangunan).
Warkop sendiri lahir di tengah demonstrasi mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974. Anggota Warkop adalah aktivis mahasiswa. Lawakan kritis mereka berfungsi sebagai mediator antara rakyat dan penguasa. Patrio tampil di TPI dalam acara Ngelaba, juga berasal dari radio SK. Di grup-grup ini, lawak dikelola sebagai sebuah industri pada tahapnya yang paling awal. Genre lawakan kritis mengalami persoalan saat transformasi dari Orde Baru ke era reformasi karena patokan kritisisme masyarakat berubah.
  1. Genre lawakan Srimulat
Melawak bagi orang Srimulat adalah melawak yang berjalan begitu saja, mengalir. Melawak tidak memerlukan naskah literer yang rumit. Srimulat tidak berdiri di atas prinsip positivistik, empiris dan tidak pula pragmatis. “Lucu adalah aneh dan aneh adalah lucu,”begitulah semboyan Srimulat. Lawakannya tidak mengungkit soal-soal politik yang rumit sehingga Srimulat relatif luwes dibandingkan yang lain karena agak imun dengan soal politik.
Menurut Garin Nugroho, Srimulat menandai adanya kelahiran pertumbuhan seni tradisional humor yang bertumbuh mengaktualisasikan diri dalam kerangka modern dengan stereotip dan figure-figur tradisi, tetapi dengan aktualitas yang sangat kontemporer. Pada genre Srimulat, figur dengan segala stereotipnya ternyata jauh lebih penting. Orang-orang Srimulat dan lawakan yang mereka hasilkan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berjarak Mereka cenderung menertawakan diri-sendiri (nasib, fisik).
  1. Genre lawakan alternatif.
Genre ini tidak melakukan kritik politik seperti genre lawakan kritis, namun juga bukan bagian dari subkultur yang lebih kongkret dan jelas seperti Srimulat. Prinsip mereka, melawak tidak boleh mencaci-maki, mengkritik dan menghujat. Lawak adalah science. Di tahun 1990-an, Ateng-Iskak Group (dengan judul acara “Aneka Ria Jenaka” yang sama sekali tidak jenaka), Jayakarta Group dan D’Bodors.
Menurut genre ini, dunia lawak adalah pertunjukan drama yang membuat orang tertawa dan dilakukan oleh beberapa pemain, antara 3-15 orang.
Jayakarta Group beranggotakan Jojon, Tjahjono, Joni dan Uuk, lalu Suprapto Wibowo (Esther). Masa kejayaannya antara tahun 1982-1987. D’Bodors mengkombinasikan lawak dan musik dan berbasis kebudayaan Sunda, beranggotakan Us Us (Achmad Yusuf), Yup Yusuf dan Sambas. Formasi ini lalu berubah menjadi Us Us, Yan Asmi dan Engkus Gusmana.
Genre merupakan daya saing fundamental. Genre merupakan kekuatan, paradigma dan sisi ideal bagi pelawak, tapi kadang pelawak tidak mampu memenuhi tuntutan genrenya.
Estetika Srimulat.
Srimulat didukung oleh orang-orang yang umumnya berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Tessy, misalnya, hanya lulusan SD. Tapi Srimulat berhasil diterima kelas menengah perkotaan karena kelas menengah Indonesia memang tidak sepenuhnya berhasil menegakkan estetika seni sesuai dengan logika estetika seni kelas menengah. Srimulat sangat khas. Srimulat memahami tindakan sehari-hari masyarakat urban yang dihasilkan dari proses belajar di antara sesama kaum urban dalam sebuah lingkungan budaya industrial yang bergerak dinamis. Hal ini terlihat dalam lakon-lakon dan karakter yang ditampilkan yang melulu orang-orang desa yang sudah berada di perkotaan. Tidak pernah Srimulat menampilkan setting dan lakon di daerah pedesaan.
Srimulat sebagai sebuah grup lawak telah berkembang menjadi lingkungan budaya tersendiri atau subkultur bagi kebudayaan Jawa yang lebih luas. Untuk level kesenian tradisional, Srimulat merupakan contoh paling sukses grup kesenian tradisional yang masuk ke dalam lingkungan masyarakat urban. Hal ini sesuai dengan apa yang mereka alami sendiri.
Srimulat menangkap terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat terhadap kesenian panggung. Dramaturgi panggung Srimulat berbeda dengan yang lain. Pada ludruk dan kethoprak misalnya jalinan cerita yang diangkat ke atas pentas adalah mitos, legenda, dan berbagai kisah masa lampau kehidupan manusia, terutama di Jawa. Cerita-cerita ini jarang diangkat oleh Srimulat. Srimulat merancang sendiri tema-tema dan jalinan cerita lawakan dengan cara reproduksi yang campur baur. Bahan baku cerita Srimulat selain dari Teguh yang telah menciptakan sekitar 10.000-an cerita, juga dari para penanggap Srimulat sendiri. Tema-tema yang diangkat hampir semuanya tentang kehidupan di dalam keluarga, ditambah isu-isu yang sedang hangat seperti narkotika, obat-obatan, dll.
Cerita-cerita khas Srimulat antara lain Bengkel Asmara, Master of Frankenstein, Wonder Eyes of Dracula, Ambassador of Cleopatra, Perkawinan dengan Mayat, Pemburu Jejak Kuntilanak, Hostes Drakula, Roh Cleopatra, Mogok Sex, Relax in Love, Dracula Delapan Penjuru Angin, Janda of Navarone, Dracula Sakit Gigi, dll.
Mekanisme panggung Srimulat tidak mengizinkan one man show tapi ia bertumpu pada nilai individualistkc. Karakter personal menjadi kekuatan lawakan. Karena tidak ada skrip lengkap, maka masing-masing karakter (Gepeng, Gogon, dll) harus mengeksporasi sendiri bahan lawakannya. Tidak ada yang lebih menonjol atau kurang menonjol, masing-masing orang harus keluar dengan trademarkindividunya. Misal, Tessy memiliki trademark sebagai tokoh banci. Gogon selalu merupakan orang bodoh. Jadi ide lawakan bukan hasil kerja kelembagaan, tapi lebih hasil kerja individu.
Tidak adanya naskah/skrip panjang dan lengkap membuat lawakan Srimulat merupakan dan dipupuk oleh budaya oral yang sangat kuat, bukan budaya tulis. Pengalaman jauh lebih penting daripada sudut pandang dan kritik humor. Budaya tulisan membuat orang melakukan abstraksi dan bersifat lebih paradigmatik, hal yang tidak akan ditemukan dalam Srimulat tentunya.
Skrip bagi Srimulat hanyalah sinopsis atau garis-garis besar cerita yang panjangnya tidak lebih dari satu halaman folio ketik. Bagi Srimulat, lawak itu simply mengungkapkan sesuatu yang aneh. Lawakan mngikuti pemikiran logika sederhana, tidak ada prakonsepsi yang memadai. Maka tidak ada standarisasi baku pelawakan. Spirit dan roh pementasan Srimulat merupakan visi antropologis Teguh.
Di Srimulat, setiap bagian (skrip, penempatan lakon, musik, layar, lighting, suara, dekor, penjualan karcis, penyanyi dan pemain ) memiliki masing-masing koordinator.
Di panggung Srimulat, ada stratifikasi yang menandai kemampuan dan kecanggihan akting pemain. Dan peran yang paling puncak adalah batur ( yang hampir mirip quasy-director). Batur (pembantu) keluar panggung pertama kali, memegang peran starting point, merupakan figur yang menciptakan pemanasan, serta menjadi juru kunci pembuat sukses lawakan. Dalam konteks seni peran Srimulat, batur adalahcentre.
Pertunjukan setiap malam selalu terdiri dari 2 babak, setiap babak berisi 6 adegan. Pertunjukan berlangsung selama 90 menit, sehingga setiap babak menghabiskan waktu 45 menit dan setiap adegan 7-8 menit. Cerita pasti selesai. Tapi cerita tidak begitu penting sehingga tidak ada struktur naratif. Yang penting, banyolannya.
Bagian musik sudah memiliki stok musik tersendiri dan tidak selalu orisinal. Musik berfungsi sebentar untuk menciptakan suasana. Pemain musik tinggal membaca skrip, melihat suasana pertunjukan dan isyarat dari sutradara. Dekor juga bukan bagian yang penting dalam manajemen panggung Srimulat. Kadang tidak berfungsi sama sekali selain menunjukkan kelas sosial pemilik rumah (karena temanya kebanyakan keluarga dengan skema indoor/interior). Dekor selalu menggambarkan ruang dalam dari sebuah rumah.
Pada awal pertunjukan, selalu tampil tokoh batur/pembantu yang bertugas memancing tawa penonton terlebih dahulu dan mengintroduksi seluruh isi cerita. Batur keluar dari panggung sebelah kiri, sehingga bagian kiri panggung menggambarkan bagian dalam rumah. Bagian kanan dan belakang panggung merupakan bagian luar rumah. Jika tuan rumah datang, mereka akan selalu masuk dari sebelah kanan atau belakang panggung. Tuan rumah biasanya langsung berjalan ke sebelah kiri panggung. Majikan perempuan lalu meletakkan tasnya da majikan pria meletakkan tas dan jas di bagian dalam rumah. Pengaturan seperti ini sudah ada sejak tahun 1977. Dan manajemen ini bersifat statis, tidak bergerak dan tidak berubah.
Panggung diposisikan sebagai aksesori atau kulit pementasan lawak. Kehadiran pelawak (karakter) di dalam panggung menjadi hal yang khas. Pada kebanyakan drama (dan sinetron kontemporer), setting/panggung biasanya bersifat ekstravagansa, manusia berada di bawah pengaruh setting yang luar biasa. Sementara dalam panggung Srimulat, manusia/karakter memegang peranan yang jauh lebih dominant di bandingkan setting/panggung yang terkesan tidak begitu dipentingkan.
Panggung yang tampak biasa dan tidak berubah (atau kalau pun berubah tidak mengurangi dominasi karakter) sebenarnya sejalan dengan filosofi kebudayaan Jawa sendiri. Dalam pengertiannya yang sublim, manusia Jawa adalah orang yang harus selalu menyesuaikan diri dengan pinesthi yang telah ditetapkan, termasuk panggung kehidupannya. Manusia Jawa harus tetap menjaga harmonisasinya. Meski ide ini bisa sangat subversif jika menilik kecenderungan kontemporer di mana dunia di luar sana (kekuatan kapital/ekonomi dan politik) sangat membentuk manusia Indonesia kontemporer. Dan ini diterima oleh sinetron-sinetron dan film lewat mise en scene yang lebih diutamakan daripada karakter manusianya sendiri.
Ciri ketiga dalam pertunjukan Srimulat adalah nama pemain laki-laki yang selalu bertambah atau mengesankan kelucuan. Nama-nama aneh ini sebagai petunjuk merekalah yang melucu. Contohnya Gepeng, Benny Bandempo, Eddy Geyol, Blontang, Asmuni, dll. Bagi Srimulat, lawak akan semakin lucu jika hanya mendengar nama atau melihat pelawaknya saja orang sudah tertawa.
Srimulat bertumpu pada kebudayaan Jawa. Adopsinya terlihat dari penggunan bahasa, logat, tradisi dan pandangan dunia (world view) masyarakat Jawa sebagai bahan baku lawakan. Penggunaan patternlawakan tetap, tidak berubah dari waktu ke waktu.
Srimulat merupakan wajah baru yang lebih mutakhir dari seni dalam kebudayaan Jawa karena kekuasaan dan otoritas dalam perspektif Srimulat dibangun berdasarkan paradigma kekuasaan Jawa.
Dalam panggung Srimulat, tidak ada kaitan antara seni lawak Srimulat dengan realitas sosial politik. Srimulat konsisten pada polanya sendiri yang tak mengalami perubahan berarti.
Kehidupan di dunia merupakan bagian dari kesatuan eksistensi yang meliputi segala-galanya. Perjalanan sejarah dan peristiwa telah ditetapkan sebelumnya dan menempatkan diri dalam hukum kosmis (hukum pinesthi). (Niels Murder, 1985)
Orang Jawa harus mampu menguasai penampakan fisiknya, gerak dan emosinya untuk menuju bentuk kehidupan yang lebih sublim. Di lingkungan Srimulat sebagian besar tanggung jawab dan hak individu merupakan proyeksi atau cerminan dari berlakunya etika Jawa. Mereka memiliki sikap nrimo atas sesuatu di luar dirinya, termasuk pembubaran Srimulat itu sendiri.
Secara politik estetik, Srimulat tidak akan memasuki wacana sosial politik yang kental dan rumit. Seperti juga kebudayaan Jawa, Srimulat bersifat agak ahistoris. Kebudayaan Jawa merupakan sketsa ahistoris, yakni kemerdekaan maupun penilaian diri manusia Jawa tidak terletak pada upaya untuk mempengaruhi atau mengarahkan kejadian-kejadian melainkan pada upaya untuk melampauinya, untuk hidup dalam kekinian yang abadi (eternal present) dengan cara mawas diri dan identifikasi diri terhadap kesatuan hakiki tatanan abadi yang berada di luar waktu dan hal-hal fana. (hal. 40).
Srimulat tetap bersikap kritis dengan caranya sendiri yang amat lembut, halus dan tidak menyakitkan. Kritik humornya bersifat reflektif atau merupakan perenungan sublimatif yang dapat dicarikan maknanya dari kerangka konseptual antropologi. Tema yang sering diajukan selain keluarga, adalah mistisisme atau sisi gaib dari kehidupan manusia. Contohnya soal drakula. Hal ini mencerminkan kontradiksi manusia Jawa dalam konteks pembangunan Indonesia yang tidak selalu rasional.
Seperti yang diungkapkan Timbul, beginilah visi Teguh tentang lawakan.
“Saya pernah dinasehati Pak Teguh, melawak itu boleh dan absah dilakukan. Tetapi kita adalah orang Jawa, yang punya sopan santun sangat tinggi. Jadi, tolong kalau melawak ya melawaklah dengan sopan santun, seperti peran batur dalam pementasan-pementasan Srimulat. Batur itu tidak boleh berani sama majikannya. ….Srimulat tidak membenarkan pelanggaran terhadap sopan santun.”
Visi yang demikian merupakan cerminan dunia ide manusia Jawa. Problem bagi orang Jawa tidak ditanggulangi dengan menciptakan proses sosial dan bukan dengan membangun konstruksi sosial yang logis, tetapi problem itu dilemparkan keluar dari kehidupan manusiawi masa kini yang riil ke kehidupan adikodrati atau spiritual, mistik, dan abstrak. Di balik itu, tumbuh subur pasemon, plesetan dan guyonan yang berisi kritik tajam untuk merespons ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terus-menerus direproduksi oleh tatanan kekuasaan.
Segala bentuk ketidakbenaran dan ketidakadilan sistem itu diatasi melalui cara yang tidak menciptakan benturan. Pandangan hidup orang Jawa bisalah disebut fatalistik. Harmoni sosial sebagai tujuan. Dengan plesetan, humor berada dalam posisi yang konformis. Ini melahirkan sistem dan corak kekuasaan yang otoriter. Hal inilah yang membuat Srimulat cocok dengan ‘ideologi’ Orde Baru karena mengabadikan harmoni, menyarukan perbedaan kelas, mempertahankan struktur sosial yang timpang.
Selain persoalan politik estetik, perubahan medium pementasan dari panggung ke televisi juga menjadi tantangan cukup kuat bagi pergulatan estetika Srimulat. Pelawak melakukan penyesuaian diri terhadap televisi sebagai medium yang relatif baru untuk menampilkan lawakan. Televisi sendiri sedang memantapkan dirinya sebagai industri.
Maka Srimulat mulai memperhitungkan pentingnya penyutradaraan dan tim kreatif. Di panggung, mereka berhadapan dengan penonton secara langsung, di medium televisi mereka berhadapan dengan kamera. Di tingkatan otoritas, televisi memberlakukan kontrak kerja, adanya koordinator dan hitungan ekonomi sehingga masuklah Srimulat ke dalam bisnis hiburan. Dalam industrai hiburan, capital/modal adalah raja dari seluruh perdagangan. Maka Srimulat mau tak mau menyesuaikan ini dengan misalnya, menyunting terlebih dahulu lawakannya sebelum ditayangkan. Dampak positif dari perubahan medium ini adalah khalayak penonton (pasar) lawakan Srimulat semakin meluas/bertambah.
Internal Affairs
Hubungan internal di dalam Srimulat bergerak seperti keluarga besar (extended family). Sebagai kelompok, Srimulat memiliki landasan teori menyamai sebuah keluarga besar. Bukan hubungan rasional dan dispersonal. Srimulat sebagai sebuah kelompok penghibur belum sepenuhnya tertransformasikan menjadi sebuah industri hiburan dalam pengertiannya yang modern. Kepemimpinan, manajemen dan hirarki kekuasaan bealum bersifat legal-rasional. Sistem kontrak kerjanya tidak ketat dan lebih didasarkan pada semangat dan prinsip gentleman agreement, adanya struktur atas dan struktur bawah berdasarkan kepercayaan/hegemoni. Struktur organisasi dan hubungan antarorang mencerminkan sebuah keluarga besar Indonesia [baca: Orde Baru] yang bersifat sangat Jawa dan patriakal.
Srimulat berhadapan dengan persoalan-persoalan kompleksitas pengaturan personel, panggung, naskah, penyutradaraan dan sarana-prasarana lain. Dan di atas semua itu, Teguh adalah big boss Srimulat, seorang legenda yang memiliki hak veto atas seluruh keputusan Srimulat, baik yang bersifat artistik maupun manajerial. Teguh berlaku seperti raja, dengan mandate bersifat otoritarian. Teguh sendiri sengaja menutup pintu bagi tampilnya kepemimpinan alternatif pada seluruh jagad Srimulat karena dialah pencetak blue print (auteur) lawakan Srimulat.
Teguh memang mampu melakukan restrukturisasi dagelan Mataram menjadi sesuatu yang baru. Dagelan kata-kat berubah menjadi komedi yang digerakkan menurut narasi dengan tetap mempertahankan dialog dan monolog. Dalam posisi ini, Teguh berperan sebagai:
1.sosok sentral Srimulat
2. kukuhnya kepemimpinannya ditentukan lingkungan dan kondisi tertentu.
3. orang yang memiliki jiwa/kepribadian dalam situasi.
Teguh sendiri dilahirkan dari keluarga miskin. Ia lahir di Bareng, Klaten, Jawa Tengah, 8 Agustus 1926, dari pasangan Ginem dan Go Bok Kwie. Ia bersahabat akrab dengan seorang pembuat gitar bernama Wiro Kingkong. Teguh menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) Purwoningratan, Solo. Pada tahun 1942, Teguh mulai membantu ayahnya bekerja di percetakan. Bersama temannya, Tan Tiang Ping, ia kemudian membentuk grup keroncong Asli di Kampung Perawit. Lalu bergabunglah Lie Tjong Yan, Liem Swie Hok, Liew Houw Wan, The Kit Liong, Kho Djien Tik dan Yo Thio Im. Di sini, Teguh mulai belajar bermain gitar dan biola. Bersama Supardi, ia menjadi anggota grup musik di Gedung Kakio Sokai, Purwoningratan. Di sinilah ia berpentas musik untuk umum untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1943, ia terlibat dalam pesta para pembesar tentara Jepang di Gedung Gajah, Solo. Teguh lalu menerima tawaran dari Thio Tek Djien-Miss Ribut untuk bergabung dalam rombongan sandiwara Miss Ribut’s Orion yang setiap malam menggelar pertunjukan di Gedung Shonan, Pasar Pon, Solo. Dua bulan kemudian, grup ini bubar. Pada tahun 1946, ia menerima tawaran R. Supomo untuk bergabung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar. Di grup ini ia bersama Gesang, Hendroyadi, Hardiman, Ndoro Griwo, dll. Orkes ini sering pentas ke berbagai kota di Jawa Tengah dan lagu-lagunya disiarkan RRI Solo.
Dalam pementasan Orkes Keroncong Bunga Mawar di Purwodadi, Teguh berjumpa dengan Raden Ayu Srimulat. Inilah titik awal kebersamaan mereka di rombongan Orkes Bintang Timur pimpinan Djamaluddin Malik serta dalam Orkes Keroncong Bintang Tionghwa yang dipimpin oleh Kho Tjay Yan. Tahun 1949, RA Srimulat mendirikan Orkes Keroncong Avond dengan Teguh sebagai pendukung utama. Setahun kemudian, tanggal 8 Agustus 1950, mereka menikah dan mendirikan Gema Malam Srimulat. Teguh sendiri menjadi pimpinan Srimulat sejak 1957 hingga 1985. Teguh menikah lagi dengan Jujuk Juariah, primadona kelompok Srimulat, pada tahun 1970, 2 tahun setelah RA Srimulat meninggal. Teguh meninggal dunia pada tanggal 22 September 1996.
Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan kharismatik. Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini terjadi karena sifat Srimulat yang masih kekeluargaan dan bersifat komunal. Pendidikan anggota yang umumnya rendah juga membuat kepemimpinan bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan cerita, samapi keputusan untuk mengembangkan usaha diserahkan pada Teguh.
Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menghasilkan berbagai persoalan di internal Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik bersifat:
  1. tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan masalah secara rasional-modern
  2. tidak adanya pembagian kekuasaan
  3. otoritas terpusat pada satu orang
  4. tidak adanya merit system/sistem reward yang jelas
  5. persoalan suksesi dan munculnya hegemoni di pelawak senior
Faktor-faktor inilah yang menjadi sebab utama runtuhnya Srimulat di tahun 1989. Selama Teguh berkuasa sebagai pemimpin Srimulat, seluruh persoalan di atas diselesaikan di tangannya, terutama soal regenerasi dan kaderisasi, tetapi setelah Srimulat bubar dan tidak adanya sistem pendukung, maka runtuhlah bangunan Srimulat sebagai sebuah organisasi/lembaga. Meski dari segi nilai, Srimulat telah melampau hakekatnya sendiri.
Setelah bubar di tahun 1989 akibat berbagai konflik internal seperti yang telah diceritakan di atas, tahun 1992-1993 Srimulat sudah melakukan berbagai reuni. Tetapi reuni-reuni ini bahkan acara Aneka Ria Srimulat yang tayang di televisi hingga tahun 1999 tidak bisa menolong kebangkitan dan restrukturisasi Srimulat sebagai sebuah organisasi. ‘Reuni’ ini sendiri memang lebih didorong oleh motif-motif ekonomi dan bisnis karena pasar lawakan yang masih terbuka lebar, daripada motivasi dan spirit untuk merekstrukturisasi Srimulat sebagai organisasi lawak modern. Ditinjau dari segi ini, Srimulat ternyata gagal menerapkan manajemen perubahan. Kuatnya ‘ideologi’ konservatif ke-Jawa-an mereka membuatnya sangat sulit menjadi organisasi rasional modern yang berorientasi bisnis-profesaional.
Ironinya, kelemahan ini menjadi kekuatan kreatif Srimulat yang telah disebarkan oleh alumni-alumninya di berbagai acara baik di panggung maupun medium baru, terutama televisi dan film. Alumni-alumni Srimulat yang sempat berkumpul lagi di Aneka Ria Srimulat kini benar-benar terintegrasi sebagai sebuah industri hiburan. Di sini, faktor kapital menjadi penentu dari keberadaan mereka di bisnis hiburan. TV menjadi satu-satunya penentu kehidupan alumni Srimulat sekarang.
Srimulat dan Politik
Meski berkali-kali mengatakan bahwa Srimulat tidak akan dan bukanlah partisipan aktif dalam politik Indonesia, tetapi tak bisa dipungkiri Srimulat hadir sebagai salah satu alat politik Orde Baru, dalam artian otoritatif maupun secara hegemonik.
Kebanyakan anggota Srimulat terutama yang senior memiliki afiliasi dengan tentara sebagai kekuatan utama Orde Baru. Asmuni pernah menjadi anggota laskar Angkatan Darat di tahun 1950, lalu menjadi Pembina kesenian di Dinas Angkatan Laut, Surabaya sebelum terjun secara professional sebagai pemain lawak. Bambang Gentolet bergabung dengan AJEN (Divisi Kesenian Korem 072 Angkatan Darat) di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada usia 21 tahun, Nurbuat bergabung dengan kelompok ludruk ‘Anoraga’ milik Batalion 513 Kesatuan Brawidjaya, Malang. Paul Polii juga bekas tentara meski tidak jelas kesatuannya. Pelawak senior lainnya, Tarzan pernah menjadi anggota Brigade Mobil Batalion 412 Jawa Timur. Sementara pelawak yang selalu identik dengan peran-peran banci, Tessy (Kabul Basuki), menjadi tentara setelah lulus SR. Sesuatu yang sulit dipercaya. Anggota lainnya, Triman juga masuk korps tentara.
Apa hubungan asal anggota Srimulat ini dengan afiliasi politiknya? Sejarah Srimulat mulai dari cikal-bakal hingga kebertahanannya selama hampir 40 tahun tak lepas dari peran serta tentara. Merupakan hal yang aneh sebuah korps tentara memiliki peran serta dalam kehidupan kesenian, dalam hal ini lawak. Tetapi inilah yang terjadi di Indonesia.
TNI atau Tentara Nasional Indonesia (sebelumnya bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ABRI) lahir dari 3 angkatan ketentaraan. Pertama, tentara-tentara yang berasal dari bekas tentara KNIL. Mereka mendapat pendidikan tentara a la Barat dari Belanda. Kedua, tentara-tentara bekas anggota PETA yang dididik oleh fasisme Jepang dan sekarang menguasai korps tentara Indonesia. Dan ketiga, adalah tentara-tentara yang berasal dari laskar rakyat yang turut berjuang selama kemerdekaan. Tentara yang berasal dari KNIL dan laskar rakyat mulai tersingkir setelah adanya rasionalisasi tentara oleh kabinet M. Hatta.
Maka tersisalah tentara-tentara dengan pola pendidikan fasis Jepang yang kemudian dikuatkan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto pasca-trageadi 30 September 1965. Mengacu pada tradisi fasisme, tentara Indonesia mulai menerapkan kredo Dwifungsi ABRI yang berisi ujaran bahwa militer bisa masuk ke ranah sipil. Dan dalam kasus Orde Baru, tentara inilah yang menguasai kehidupan rakyat sipil, termasuk dunia kesenian. Tak heran banyak jenderal dan pejabat tentara menjadi payung bagi organisasi kesenian dan olahraga. Salah satunya, Letjend TNI (purn) Agum Gumelar yang bertindak sebagai pembina Srimulat.
Jauh sebelum ini, saat Orde Baru berkuasa, Srimulat seperti juga kesenian lain, tak lepas dari hegemoni pemerintah. Meski tidak sevulgar Aneka Ria Jenaka yang jelas-jelas menjadi corong rezim, Srimulat mau tak mau berkompromi dengan penguasa untuk mengamankan dirinya. Tak heran, hegemoni dan kompromi ini masuk sampai ke tingkat tema lakon yang dibawakan. Srimulat ditekan dan mau tak mau harus menyampaikan pesan-pesan pembangunan pemerintah. Salah satu isu yang pernah diusung Srimulat adalah tentang Keluarga Berencana (KB.
Orde Baru sendiri menyadari kekuatan Srimulat sebagai kekuatan yang bisa berbahaya untuknya, tapi juga bisa menguntungkan rezim karena keterjangkauannya pada publik/massa. Seperti yang telah diungkap dalam bagian estetika Srimulat di atas, Srimulat merupakan dunia kecil kebudayaan Jawa yang mau tak mau juga merupakan dasar pemerintahan Orde Baru. Tak bisa dihindari, ideologi ke-Jawa-an Orde Baru sebenarnya berkaitan erat dengan ‘ideologi’ estetika Srimulat. Keengganan Srimulat untuk mengajukan kritik dan kesediannya menjaga ‘unggah-ungguh’ Jawa tentu merupakan hal yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru. Bisa dibilang Srimulat menjadi “government ‘s darling” saat itu meski hubungan kedua belah pihak bersifat saling mencurigai. Pada tahun 1983, Srimulat tampil di tengah keluarga Soeharto di Cendana, Jakarta. Dan ini menjadi salah satu rekor yang dibanggakan oleh orang-orang Srimulat sendiri.
Pada zaman Orde Baru, kekangan terhadap pelawak, tidak hanya berasal dari Negara, tapi juga dari masyarakat. Masyarakat telah mengambil alih logika kekuasaan negara, mulai memancang berbagai perintang guna menghadapi terlontarnya berbagai humor kritis dari pelawak. Selama Orde Baru, hubungan antara Negara dengan lawak sesungguhnya penuh dengan ketegangan. Penguasa takut akan ambruknya sistem otoriter jika lawak diberi keleluasan dan kebebasan sebesar-besarnya.Pelawak takut ditindas. Maka muncullah self-censorship dalam diri pelawak
Dalam kasus Srimulat, saat tampil di TVRI, hubungan antara Srimulat dan TVRI adalah hubungan patron-client. TVRI sebagai patron, pelawak sebagai client. Hubungan ini tidak hanya hubungan demi mempertahankan dan mengembangkan seni lawak, tapi hubungan politik yang cukup kental. Karena TVRI berdiri di atas garis kebijaksanaan dan program pembangunan pemerintah, maka para pelawak sebagaiclient boleh tampil di TVRI dengan sejumlah tabu untuk tak mempersoalkan dan mengkritik kebijakan serta program pembangunan. Kalau perlu, pelawak justru menjadi alat propaganda pembangunan pemerintah.
Penutup
Demikianlah sekelumit sejarah dan peran serta posisi Srimulat dalam panggung kesenian dan kebudayaan Indonesia. Dalam perjalanannya yang cukup panjang itu, Srimulat ternyata telah mengalami berbagai macam hal yang membuatnya tetap menjadi legenda dunia perlawakan di Indonesia.
Referensi
Anwari, Indonesia Tertawa, Srimulat sebagai Sebuah Subkultur, LP3ES, 1999
Homo ludens
Denys Lombard, Nusa Jawa
Internet dan kliping Koran.


[1] Menurut Herry Gendut Janarto dalam bukunya, Teguh Srimulat: Berpacu dalm Komedi dan Melodi(Jakarta, 1990), Dagelan Mataram kemungkinan berasal dari pengembangan kesenian kraton oleh Kraton Yogyakarta dari tahun 1913-1933. Para pangeran dan putrid raja, seperti P. Suryoatmodjo, P. Suryodiningrat, P. Tejokusumo, P. Hangabei, dan P. Mangkukusumo ikut dalam pengembangan karawitan, pedalangan dan mocopat serta lawak. Mereka mengundang banyak orang untuk berolah krida di kraton. Para seniman ini lalu menjadi abdi dalem yang bertugas menghibur keluarga kraton. Mereka disebut abdi dalem oceh-ocehan. Pada tahun 1921, beberapa abdi memohon untuk mengembangkan ketrampilan kesenian mereka di luar kraton. Sejak itu, dagelan Mataram berkembang di kalangan masyarakat.

OUT OF THE BLUE: DOCUMENTARY FILMMAKING IN INDONESIA

When I started my first documentary project, I was spending such as US$1200. I was lucky because a non-governmental organization supported our documentary team with MiniDV Camera and editing computer with pirated editing software. It was like 2 years ago.
Last year, when I and my friend won Jakarta International Film Festival Short Documentary Script Competition, we really should start from the scratch. We don’t have equipment. Our camera was broken. We have no decent editing computer and no big budget. Even we won the prize, we just got US$2500 for the whole process of filmmaking, from researching, production till postproduction.
But in Indonesia, such amount is quite big budget for documentary. As any other part in the world, documentary in Indonesia is marginal discourse among film industry. Yet documentary filmmakers are abundant.
Statistic in 2002 stated that 32 documentaries were produced that year (In-Docs, 2002). The first documentary film festival in Yogyakarta received 35 entries from public, varied from professional to amateur documentary filmmakers. From the mapping made by In-Docs, there are 295 documentary films about Indonesia that have ever been made by Indonesians and foreign filmmakers during 1950-2002. Most of them (about 223) are about social culture, while the rest are about nature and flora fauna. There are also 159 documentaries made by university or film school student for their final task.
During the recent Konfiden festival (Indonesian Short Film Festival, 2006), there were 46 short documentaries submitted. The 46 short documentaries are produced during 2004-2006. Jakarta Slingshort Festival, a first South East Asia short film festival admitted many documentaries (around 30%) from total 300 films entries to the festival.
2006 Indonesia Documentary Film Festival as a venue for all Indonesia documentary films accepted at least 54 films. In 2006. Eagle Award, a documentary script competition hold by big television corporation called Metro TV, received 462 documentary proposal in 2005 and 369 proposal last year (2006).

This respond proved that there are enthusiasm among filmmakers, particularly young filmmakers to produce documentary. Previously, the lack of enthusiasm toward documentary was pushed by the fact that documentary doesn’t have economic value, comparing to fiction/feature films. As documentarian suffered from inferior complex in term of business, many documentary filmmakers are still lack of access to the production capital. In Indonesia, most of the documentary production are independent. Documentary filmmakers produce film in tight budget, even with their own money. Lack of access to capital is causing lack of technical value of the film. Most documentaries are shot in video. Sometimes they could get good video camera,but sometimes they use the old technology like single CCD. And it affect the quality of the screening.
Some filmmakers like Garin Nugroho have very strong capital basis and international network that enable them to have funding from foreign institutions.
Beside of that, many young filmmakers (beginner level) don’t come from film school. There is only one film school in Indonesia, so it’s too much to expect them to focus on documentary.
In recent years, the popularization of documentary is improving. As part of international impact, now documentary is having better position in term of its position among filmmaker, its position to business/market and its position in politic.
Audience now are more aware of documentary pushed by new phenomenon of popularization of documentary in the West. Documentary film like The Corporation, March of The Penguin, Fahrenheit 9/11 and any other films make positive impact on society that now they are really aware of this genre. Film like The Corporation and Inconvenient Truth are screened in the commercial theater during the festival. Some any other documentaries are screened in cultural centre and university. And it got better appreciation from the public.
Dating back to the New Order period (1966-1998) when Soeharto was in throne, the development of documentary scene is very very amazing. Not only in economic aspect and public appreciation, but also in its diverse of themes and way of storytelling.
According an interview with Garin Nugroho (Ishizaka Kenji, 2000), documentaries are distinctly divided into two types: propaganda films made by governments or those on the side of authority, and anti-authority documentaries made to counter such forces. Garin Nugroho said that ninety percent of documentary films in Indonesia are government propaganda.
History of Indonesian documentary film is closely related to Indonesian history, ie. history of colonialism. Despite claim that first documentary was brought by Christian missionaries in Nusatenggara, the history of documentary films in Indonesia tends to start with the Dutch colonial era, when documentary films were screened at night bazaars in Jakarta.
When the Dutch established plantations in Sumatra, documentary films were used as propaganda to entice Javanese peasants to migrate to the plantations. The same thing happened under Japanese rule, when the Japanese used film as propaganda to advance the “Greater East Asia Co-Prosperity Sphere.”
During the New Order years of the Soeharto reign, documentary films followed two routes. First, documentaries used mainly for educational and informational purposes extolled the good results of the New Order’s national development. Second, a small fraction were ethnographic or environmental films made for general educational or scientific purposes.
Indonesian documentary film from the era of independence through the 1990s has had only two dimensions: development propaganda and scientific knowledge. Even the latter has been very limited in both approach and variety. Most scientific and enthographic films portray the life of primitive ethnic group in remote Papua or Borneo. These films always use narrator who tell what’s happening in the location. Pictures show exotic places, with its ‘uncivilized’indigenous people doing some major tribal ceremonies. Also, because so many documentaries are co-produced by local filmmaker and major foreign television companies, personally initiated documentary filmmaking has disappeared.
The situation up until the 1990s was exacerbated by the fact that Indonesia had only the one government television station, TVRI [Television Republik Indonesia]. Consequently, television documentaries feature the development successes of a village, complete with images of government officials cutting ribbons and so on. Comparing Indonesian documentaries with documentary film in the rest of the world, Indonesia films tend to be outdated in content, format, and approach.
Many documentaries were made by director under tight supervision of government (via department of information). According to Regulation No. 8/1992, all filmmakers should give their proposal and script before producing their films. To make a documentary film, filmmakers should have to secure permits, submit the screenplay for scrutiny, approve the title with the government, and report the names of all crew.
It enabled government to supervise the content or material of the film. This policy makes it’s very difficult to produce film during New Order. At that time, documentary were available in official television (TVRI) and documentary permitted to be screen on TV should be documentary about animal, plant, indigenous people, and traveling.
But it’s just first exam. If the filmmaker passed the first exam, they should pass the second exam, ie. Cencorship Board. In 1992, New Order tried to deregulate film industry but yet Indonesia is still keeping its Censorship Board. Censorship Board functions to decide whether certain film is avalaible for public or not.
Cencorship Board functions as supra-body who could ban and censor the films. Either it can cut the film, it also could not release the film. Members of cencorship board are coming from intelligent agency, police department, military, department of education, and religious leaders. Many documentaries are suffered from being banned by that body, particularly political documentary. Authoritarian regime didn’t allow filmmakers to make political film. Recently Indonesian Censorship Board banned film Promised Paradise (2006) by Leonard Retel Helmrich, Black Road (2005) by William Nessen, Passabe (2005) by James Leong and Lynn Lee, Timor Loro Sae (2003) directed by Vitor Lopes and Tales of Crocodile (2003) directed by Jan van den Berg. Aforementioned films are portraying political issues that are sensitive to Indonesia, like terrorism, East Timor and Aceh.
During the New Order period, we could hardly find any independent documentarian. If they live, they produced and distributed it underground. And it’s quite difficult to compile statistic about them.
In term of aesthetic values, Indonesian documentary in New Order era seem getting impasse. Film students and some filmmakers knew numerous varieties of documentary, everything from poetic to social approaches to much more but it’s just getting well soil to grow after the new order outthrown. Previously very thick in propaganda, now Indonesian documentaries are varied in style and approach and addressed the social and political issues.
Some new approachs are introduced to filmmaker, like verite and or direct cinema. Different from ethnographic documentaries that tends to portray the indigenous people, now filmmakers make their own life as a documentary. Film is becoming about an everyday life open to anything at all. It can explore far ahead into the future, or dig deep into the past.
The 1990s brought a trend toward more openness in television news broadcasting. There are now ten private television channels that open channel for documentary. Film like Children of a Thousand Islands (“Anak Seribu Pulau”) was made by Garin Nugroho. Although still using some old pattern of documentary, this film made remarkable change on the documentary filmmaking.
Since 1999, Indonesia was shifting to a new political regime. It is during particularly chaotic times like that, when the system has yet to stabilize, that many filmmakers ought to dare to be revolutionary, to advance subjects with sensitive themes like religion, communism, or sex. The 1990s have been the era of private television stations, but they were still dominated by politics, precisely anarchic ones. As the news shows, documentary film emerged when economic matters forced politics aside. Previously, only the government set the agenda through news broadcasts on the government monopoly station. Then the private stations were established, each with their own news shows. And from these a new basis for documentary films emerged.
What typifies the past 8 years has been increasing attention to theoretical and approach issues in documentary as opposed to the practical, everyday problems of filmmaking.
In Indonesia, it’s essential to discuss about the form and aspect of story telling of documentary and above all, the political aspect of documentary filmmaking. These aspects have been changing since New Order outstated from power.
The young filmmakers are learning and finding the effective and interesting way to tell their stories in documentary. Some are good at it, some are bad. Without any prior knowledge of production, they are trying to tell their own stories. And it’s interesting process.
Taking advantage of the relatively cheap and flexible medium of television, numerous filmmakers entered the scene and began to mass-produce documentaries for airing on Indonesian television. Nonetheless, filmmakers continue to make documentaries, and use various means to get films seen. Some filmmakers travel with their films and show them wherever facilities exist, others route them through the country’s large film society circuit.
Now many [young] documentary filmmaker challenged the old rule. They started to make political documentary based their own experience as New Order’s victims. Lexy Junior Rambadetta with his Offstream produced ..which covered PKI issues, titled Mass Grave (2000) . PKI (Indonesian Communist Party) was active in Indonesia politic in 1950-1960. Soeharto gained its power by killing at least 3 million peoples suspected to be communist.
This massacre is frequently called “G-30-S” and was the black history for Indonesia. During New Order era, there was nobody brave enough to challenge the regime. And if it’s any, Soeharto regime would organize extrajudicial killing, like what they did to the PKI followers in 1965. In 2002, film titled Student Movement by Tino Saroengallo became the first Indonesian documentary screened in commercial theater (21 chains). This film conveyed the 1998 student movement. The emerging of political documentary is very important breakthrough in documentary discourse.
Documentaries have come a long way from the boring newsreels shown before main features in cinemas. With changes in technology amplifying the potential for production and broadcasting, the day of the documentary may finally dawn.
This chain of events has provided a launching pad for the coming era of documentary filmmaking, as long as we are determined to keep developing it. Filmmakers must commit to a new openness and produce documentaries that are open to a whole range of issues. At the same time, filmmakers must be increasingly vigilant against new problems forcibly advanced by anarchic forces, for example the spread of hate based on ethnicity, religion, and so on. The recent year promises to be a most potent era for documentary film if, and only if, filmmakers are daring enough to seize the opportunity presented.***


Reference
Kenji, Ishizaka, Interview with Garin Nugroho, http://www.yidff.jp/docbox/14/box14-2-1-e.html
In-Docs Newsletter, 2002
Prakosa, Gotot, Film Pinggiran, Jakarta : FFTV-IKJ in cooperation with YLP, 1997.
Rosenthal, Alan and John Corner, New Challenges for Documentary, Manchester: Manchester University Press, 2005.

TRaffic meter

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More