Tuesday, November 28, 2006

Mahasiswa IPDN tewas sisiksa seniornya

Mahasiswa STPDN Tewas Dianiaya Para Seniornya
BERI OLEH-OLEH IBUNYA DENGAN GAJI PERTAMA

KLIK - DetailSebenarnya mahasiswa STPDN ini melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya. Namun karena ada teman satu angkatan yang tidak membuat tugas, ia jadi ikut kena hukuman dari seniornya. Dan hukuman tersebut berbuah kematian.

Ratusan warga memadati pemakaman keluarga di Kampung Kambing, Citeureup,
Bogor, Sabtu (5/9). Mereka ingin menyaksikan autopsi jenazah Wahyu Hidayat (21), mahasiswa (praja) tingkat 2 Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Jawa Barat yang tewas setelah dianiaya seniornya.

Namun hiruk pikuk warga tersebut tak membuat Ny. Rosadah (40), ibu Wahyu tertarik. Ia memilih mengurung diri di rumah. "Saya tidak kuat menyaksikannya. Biarlah bapaknya yang mengurus di
sana," ujar ibu empat anak ini.

Sepanjang hari itu Rosadah hanya duduk termangu di atas tikar yang digelar di ruang tamu. Pandangannya kosong, seakan tak peduli banyaknya orang yang lalu-lalang di depan rumahnya. Guratan kesedihan masih tampak di wajahnya. Apalagi jika ada tamu yang datang mengucapkan bela sungkawa.

KERAP KEHILANGAN KAUS
KLIK - DetailBanyak kenangan indah yang belum mampu terhapuskan dari benak Rosadah. "Dia anaknya pintar. Dari TK hingga SMU selalu juara," kisah Rosidah. "Sebagai orang tua tentu saya bangga. Apalagi kalau lihat nilai rapornya selalu baik," tandas Rosidah.

Selepas SMU Wahyu mendapat dua pilihan masuk perguruan tinggi tanpa proses seleksi, IPB Bogor dan Universitas Islam, Jombang. Sebenarnya Syarif Hidayat (49), ayah menginginkan Wahyu kuliah di Jombang. Tapi Rosadah minta anaknya memilih IPB. "Alasannya, biar saban akhir pekan bisa pulang." Wahyu sebenarnya juga sempat mendaftar SPN di Sukabumi. "Tapi umurnya masih kurang dua minggu. Jadi tidak lulus seleksi." Wahyu akhirnya memilih kuliah di Fakultas Peternakan IPB .

Saat semester 4, ayahnya menyarankan, Wahyu mendaftar STPDN. "Memang sih, lulus IPB punya gelar insinyur. Tapi, kan, masih cari kerjaan. Sementara kalau di STPDN, pasti dapat pekerjaan. Bahkan kuliah pun sudah digaji," jelas Syarif.

Wahyu pun menuruti anjuran ayahnya. "Kami bangga sekali saat ia bisa lolos seleksi. Soalnya masuk STPDN tidaklah mudah. Dari 1.500 pelamar asal Jawa Barat yang diterima cuma 70 orang."
Soal aturan kampus yang sangat disiplin, keluarga Wahyu juga memaklumi. "Setahun ia hanya boleh pulang dua kali. Saat Lebaran dan Tahun Baru." Justru keluarganya yang sering membesuk Wahyu. "Kami hanya bisa ketemu di masjid. Itu pun hanya sebentar," jelas Syarif seraya menambahkan anaknya sudah mulai terbiasa dengan aturan yang diterapkan kampusnya.

Kalau toh ada yang dikeluhkan anaknya, hanya soal rawannya "pencurian" di kampusnya. "Ia sering kehilangan kaus, sepatu, baju, dan celana." Syarif menduga, semua ini terjadi karena mereka sering diburu-buru waktu. "Misalnya saat apel pagi, ada saja mahasiswa yang sembarangan memakai sepatu atau kaus entah milik siapa."

Gara-gara sering kehilangan, Wahyu jadi kerap berantem dengan teman-temannya. "Dia jengkel lantaran sepatunya tiba-tiba hilang. Atau kaus dan sempak yang raib. Itu yang ia keluhkan selama tinggal di asrama." Selain itu, ia juga sering kena hukuman jika ia terlambat melakukan sesuatu atau melakukan kesalahan. "Hukumannya katanya berat. Dia bilang, kalau tidak, ingat, orang tua, rasanya ingin kabur saja."

DAPAT GAJI PERTAMA
KLIK - DetailTanggal 14 Agustus 2003 Wahyu mendapat cuti tahunan selama 2 minggu. Hari itu menjadi paling berkesan bagi keluarga Syarif. "Ketika datang, wajahnya berseri-seri. Seperti biasanya ia, memeluk saya baru menurunkan buah tangannya berupa minuman ringan dan cokelat. Baru kali ini memang dia bawa oleh-oleh," jelas Ny. Rosadah.

Rupanya bulan itu ia mendapat gaji pertama. "Tapi besarnya berapa saya tidak tahu. Dia cuma bilang, cukup untuk hidup sebulan," jelas Rosadah. Selama di rumah, selain membantu kakaknya mengirim peralatan pesta, dia bermain dengan Sofia, adiknya paling bontot. Wahyu kelihatan paling sayang sama Sofia, Mungkin karena Sofia satu-satunya perempuan.

Baru dua hari di rumah, (16/8) dia kembali ke Bandung. Katanya, untuk mengikuti apel kemerdekaan di Lapangan Gasebu Bandung bersama rekan-rekannya seangkatan. Seusai dari Bandung, ia kembali lagi ke Citeureup hingga masa cuti habis (30/9).

Selain membantu kakaknya, selama cuti, Wahyu banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. "Hobinya memang membaca buku dan main komputer," jelas Rosadah. Wahyu juga aktif di kegiatan agama di kampung maupun kampusnya. "Tahun lalu dia malah kepilih menjadi koordinator pengiriman hewan kurban ke Bandung."

Saat Wahyu akan pulang ke Bandung, Syarif dan Rosadah mengantar anaknya hingga Pintu Tol Cileungsi.
SEMUA TUTUP MULUT
KLIK - DetailRabu (3/9) dinihari, Syarif mendapat kabar dari salah seorang mahasiswa STPDN bahwa Wahyu dirawat di RS Al Islam, Bandung. "Dia minta agar kami tabah. Saat itu saya sudah mendapat firasat yang jelek. Lima menit kemudian, orang tersebut memberi tahu anak saya sudah meninggal," papar Syarif. Ia lantas bergegas ke Bandung.

Ketika memandikan jenazah Wahyu, ia melihat tubuh anaknya memar-memar dari bahu hingga leher. "Mulutnya membiru. Dari betis hingga paha terdapat bekas tendangan. Saat tubuhnya dibalikkan, mulutnya masih mengeluarkan darah," jelas Syarif.

Syarif tak mendapat penjelasan apa-apa perihal kematian anaknya. "Semua orang yang saya tanya, tutup mulut semua. Mulai dari mahasiswa, dosen, hingga dokter dari STPDN. Saya sangat kecewa terhadap STPDN karena saya nilai tidak bertanggung jawab."

Dengan penuh penasaran akhirnya Syarif membawa pulang jenazah anaknya ke
Bogor. "Saya semula menolak diautopsi lantaran saya tak curiga apa-apa." Makanya begitu sampai di Bogor, jenazah langsung kami kebumikan.

Kalau toh sekarang, kasus ini berbuntut panjang lantaran ada teman Wahyu yang meneleponnya. Dia menyarankan kematian Wahyu diusut tuntas. "Lalu saya telepon ke Polres Sumedang. Ternyata mereka juga telah membentuk tim untuk mengusut kematian Wahyu."

TIDAK BERSALAH TAPI IKUT DIHUKUM

KLIK - DetailKematian Wahyu Hidayat berbuntut dipecatnya tiga mahasiswa dari STPDN. Mereka adalah Hendi (20), Yayan (21) dan Dadang (21). Selain dipecat, mereka kini meringkuk di tahanan Polres Sumedang. Wajah Hendi yang paling tampak murung. Maklum, dialah yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Hendi adalah ketua kontingen Jawa Barat di STPDN.

Menurut Hendi, kejadian ini diawali dengan sejumlah tugas dari Praja Tingkat III atau Nindya Praja untuk para Praja Tingkat II saat cuti. "Tugasnya berupa upacara bendera, membuat proposal, dan anjangsana ke para senior," tutur Hendi. Selasa (2/9), Hendi mengumpulkan Wahyu dan teman-teman seangkatannya lantaran ada yang tidak melaksanakan tugas. Mereka dikumpulkan selepas Salat Isya di petak B Barak Bangka Belitung. Sekitar 50 Nindya ikut hadir di acara tersebut.

Hendi menjelaskan acara tersebut sebagai upaya menegakkan kedisiplinan bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas. "Saya hanya mengumpulkan mereka. Selanjutnya saya serahkan ke wakil kontingen, Sandra Rahma, karena saat itu saya harus ikut rapat komando."

Kapan pemukulan mulai terjadi? "Saya enggak tahu pasti, tapi ketika Sandra memimpin, saya sempat lihat adanya pemukulan. Hal itu berlangsung tanpa komando, tahu-tahu ada yang mulai duluan. Saya sendiri enggak ikut mukul," jelas Hendi.

Menurut Yayan, dari 50 Praja Tingkat III yang hadir, ada yang melakukan pemukulan dan ada yang tidak. Sedangkan Dadang mengaku tidak tahu pasti, "Saya enggak begitu jelas melihat," dalihnya.

Dadang dan Yayan mengakui memukul Praja Tingkat II yang berdiri berjajar di barak tersebut, termasuk Wahyu. "Saya enggak tahu siapa yang mulai, saya hanya ikut-ikutan mukul saja. Malapetaka itu terjadi saat Dadang giliran akan memukul dada Wahyu. "Tiba-tiba tubuh Wahyu jatuh."

Akhirnya Wahyu digotong ke tempat tidur. "
Ada yang memijit-mijit dan memberinya balsem serta nafas buatan supaya siuman. Sepertinya sih, saat itu Wahyu masih bernafas," kata Yayan. Karena masih tidak sadar, Wahyu pun segera dibawa ke poliklinik STPDN. "Akhirnya Wahyu dibawa ke RS RS Al Islam. Saya ikut ngantar," jelas Dadang. Ketiganya tak menyangka jika akibat kejadian itu Wahyu akhirnya meninggal.

Hendi mengaku bahwa Wahyu tidak bersalah karena melakukan ketiga tugas tersebut. "Wahyu ikut upacara bendera, saya saksinya. Dia juga buat proposal, tapi untuk acara anjangsana saya enggak tahu pasti. Yang jelas kalau ada beberapa anak yang enggak bikin tugas, semua akan kena hukuman."

Saat ini baru ada tiga tersangka kasus tewasnya Wahyu Hidayat ini. "Tapi kemungkinan bertambah ada. Tergantung pemeriksaan nanti," kata Kapolres Sumedang, AKBP Drs. Yoyok S., S.H, Msi. Selain mengorek keterangan dari siswa, pihak kepolisian juga akan mengorek keterangan dari dokter poliklinik STPDN. "Dia bisa disalahkan karena tidak melaporkan kejadian itu. Terutama orang-orang yang mengantar Wahyu ke RS Al Islam malam itu," ujar Yoyok.

1 komentar:

nich ada blog ipdn yang actual lainnya : http://ipdn.blogspot.com
mau cari kerjaan iseng klik: http://smartforum.blogspot.com/

Post a Comment

Silahkan beri komentar Anda mengenai artikel diatas di kolom ini:

TRaffic meter

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More