Friday, July 18, 2008

Meet, Afifah Tas'a Jahara

“Bu Asiah, please... jangan tinggalin aku. Aku nggak mau lepas dari Bu Asiah..” begitu katanya beberapa bulan yang lalu.
             Afifah Tas’a Jahara, satu-satunya anak dengan special needs yang aku ajar di grade 7 kemarin. Sebagai guru baru, aku termasuk yang cepat sekali diterima oleh Afifah. Sejak awal aku tahu kalau dia punya kekurangan. Seperti anak penyandang cerebral palsi lainnya, kita bisa langsung melihat perbedaan fisik Afifah dibandingkan dengan teman-temannya. Aku nggak tahu bagaimana awalnya, tapi tiba-tiba saja Afifah begitu lengket denganku, padahal dia masih punya guru pendamping saat itu. Menurut guru-guru yang lain, itu karena sikapku yang terlalu baik padanya. Afifah memang sering sekali datang ke kantor guru dan memanggilku hanya untuk meminta tolong membetulkan ikatan rambutnya. Ternyata sikapku itu membuat dia merasa bisa mengandalkan aku di banyak hal, membuatnya nggak mandiri. Setelah menyadari hal itu, perlahan aku mulai mengajaknya untuk melakukan banyak hal sendiri, walaupun masih dengan aku menemani  di sisinya.
            Dia sayang sekali padaku, itu yang aku rasakan. Apa karena aku terlihat paling muda? Atau dia tertarik dengan penampilanku? Yang pasti Afifah selalu memasang wajah yang sumringah setiap bertemu denganku. Ditambah lagi tak lama setelahnya, aide teacher Afifah tiba-tiba saja mengundurkan diri, dan aku diminta untuk menggantikannya. Kalau menurut orang tuanya, Afifah sendiri yang meminta aku untuk menjadi aide teachernya. Setelah negosiasi masalah job desc dan honor, aku menyanggupi. Banyak hal yang bisa aku dapatkan dari mendampingi Afifah. Kesabarannya menghadapi olok-olok teman sekelasnya, nasihat-nasihatnya untuk memotong kuku ku yang memang nggak pernah pendek, he..he.. =P sampai sikapnya menghadapi kekurangan orang lain.
            Ada satu hal paling berkesan saat aku menjadi Aide teacher Afifah. Suatu hari kami sedang membahas tentang Ucok Baba. Entah pelajaran apa, tapi guru bidang study saat itu tiba-tiba saja membahas tentang Ucok Baba. Tiba-tiba Afifah berceletuk padaku.
            “Bu Asiah, Ucok Baba itu yang orangnya kecil itu khan ya?”
            “Iya, kenapa Kak?”
            “Kasihan ya Bu, dia punya kekurangan kayak gitu”
            Aku terperangah. Dia masih bisa mengasihani Ucok Baba? Dengan kondisinya yang juga serba berketerbatasan itu, dia masih bisa mengasihani Ucok Baba? Afifah begitu mensyukuri apa yang diberikan Tuhan padanya, sehingga dia bisa melihat kekurangan orang lain untuk bisa mensyukuri apa yang dimilikinya. Aku masih bisa menahan air mataku saat itu, aku hanya bisa tersenyum dan mengusap kepala Afifah.
            “Tapi Ucok Baba punya banyak prestasi Kak, mungkin Allah memberikan kekurangan di dirinya, tapi nggak membatasi dia untuk berprestasi”
            “Iya ya Bu, Ucok Baba sering muncul di TV. Hebat ya bu”
            “Kakak juga bisa, kalau Ucok Baba bisa, kenapa kakak nggak bisa?” ujarku.
            Afifah menatap mataku dengan matanya yang bening. Dia tersenyum senang. Harapanku saat itu, mudah-mudahan percakapan itu bisa menjadi inspirasi untuknya nanti.
            Masih di hari yang sama, aku mendampinginya melakukan terapi di LSC. Banyak kegiatan yang harus Afifah lakukan di sana. Di antaranya, melatih kelenturan jari dengan memasang dan membuka kancing baju, menjahit jelujur dengan papan khusus, dan melempar bola, dan oh iya Afifah juga melakukan terapi berjalan. Semua itu dilakukan untuk melatih kelenturan organ tubuh bagian kirinya yang memang sudah kaku sejak lahir. Afifah menjalani semuanya dengan tekun dan sabar. Aku terus mendampingi di sampingnya, melihat step-step yang dilakukan terapist dan melihat dia dengan susah payah mengikuti. Afifah membutuhkan waktu hampir sepuluh menit untuk memasang satu kancing dan membukanya kembali. Dia membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk menjahit jelujur dan membukanya kembali. Sementara untuk menapakkan kaki kirinya dengan sempurna, dia masih terlihat sangat kesulitan. Dadaku sesak menjalani sesi terapi itu, air mataku sudah mengambang, sebelum ia mengalir lebih deras aku mohon diri ke kamar mandi. Aku menangis sendiri di sana. Trenyuh dengan kenyataan itu. Kubandingkan dengan diriku sendiri yang masih sering kali mengeluh kalau timbangan naik satu kilo, marah-marah kalau di akhir bulan kehabisan uang, senewen sendiri kalau nggak ada orang yang bisa menemani saat weekend. Kelakuan yang semakin terlihat konyol jika dibandingkan dengan pengalamanku di hari itu.
            Hari ini, detik ini, saat aku menulis postingan ini (di temani Hilman wuiks... =P) tiba-tiba saja aku merasa kalau semua yang aku miliki dan tidak aku miliki saat ini sudah amat sangat cukup. Aku nggak perlu waktu sepuluh menit untuk membuka dan mengancingkan kembali kancing jeansku, aku nggak perlu waktu setengah jam untuk melakukan jahit jelujur, dan aku sudah bisa menapakkan kakiku dengan sempurna bahkan di tahun pertama aku dilahirkan ke dunia ini. Walaupun aku tak lagi memiliki hari-hari bahagiaku dengan kupu-kupu, dan kemarin tiba-tiba saja jadwal wawancara kerjaku ditinjau ulang untuk waktu yang nggak akan pernah dipastikan a.k.a they reject me even before meeting me, HUH!!! Rugi banget tuh mereka!!! Aku bersyukur banget aku masih bisa menjalani hari-hari sibukku dengan hati gembira. Walaupun nominal di account tabunganku tinggal lima digit saja. Tapi aku bahagia… dan sebenarnya, nggak perlu melihat Ucok Baba untuk menyadarinya.
Thanks Afifah… ibu sayang Kaka ^^

Disadur dari : sittyasiah
http://arthepassion.multiply.com/journal/item/43/Meet_Afifah_Tasa_Jahara

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan beri komentar Anda mengenai artikel diatas di kolom ini:

TRaffic meter

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More